Pemilu Mengeliminasi Intoleransi
SATUHARAPAN.COM – Dalam masa kampanye ini, partai politik dan kandidat anggota legislatif menawarkan diri sebagai “solusi” bagi bangsa ini yang menghadapi begitu banyak masalah. Berbagai janji disampaikan untuk membangun “kesan” bahwa partai yang bersangkutan layak dipilih atau para kandidat sebagai yang paling “layak” mengemban amanat rakyat.
Sayangnya, kampanye yang dilakukan tidak cukup efektif untuk membantu rakyat yang akan menetapkan suaranya mendapatkan informasi yang memadai untuk menjatuhkan pilihan. Rakyat dengan berbagai pergumulan yang dihadapi tidak cukup memperoleh “panduan” untuk menetapkan pilihannya.
Salah satu masalah yang dihadapi bangsa ini adalah tentang sikap dan perilaku intoleran yang menjadi pemandangan yang masif dalam kehidupan bangsa ini. Dan tampaknya tidak ada partai politik yang secara tegas mengangkat masalah ini, serta menawarkan solusi untuk mengatasinya.
Intoleran atau tidak toleran adalah sikap dan perilaku yang tidak menghargai pihak lain. Hal ini merupakan masalah yang serius karena menyangkut ikatan kebangsaan, dan menjadi pondasi bagi eksistensi bangsa ini. Berbagai masalah dan konflik yang muncul merupakan efek atau gejala dari adanya sikap intoleran dalam relasi antar individu atau kelompok.
Sikap intoleran ini pada gilirannya menjadikan bangsa ini sibuk dan menghamburkan energi untuk mengatasi masalah-masalah intrenal yang diciptakan sendiri. Jika ini dibiarkan, apalagi ada pihak yang mengambil kesempatan untuk keuntungan mereka sendiri, maka membiarkan hal ini sama artinya dengan mendorong bangsa ini menuju pada jurang kehancuran.
Intoleran dalam Keseharian
Dalam satu dekade ini kita banyak menyaksikan perilaku intoleran, dan terasa hal itu makin masif. Beberapa contoh yang bisa dikemukakan antara lain ada banyak warga negara yang tidak dihargai sebaga warga negara dengan hak-hak mereka. Karena perbedaan keyakinan, mereka tidak mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP) yang berarti kehilangan hak-hak mereka sebagai warga negara. Para penyandang tuna netra tidak dihargai sebagai warga negara, sehingga tidak ada surat suara dengan huruf braile bagi mereka pada pemungutan suara 9 April mendatang.
Hal di atas sekadar contoh. Setiap hari kita hidup degan “bahasa” kekerasan yang berarti masifnya perilaku intoleran. Di jalanan hal yang biasa jika yang lemah tersingkirkan, dengan perilaku berlalu lintas yang saling serobot. Fasilitas publik dikuasai dan digunakan oleh individu atau kelompok, semetara publik kehilangan akses. Contoh sederhana adalah trotoar yang dibangun dengan uang rakyat digunakan untuk memajang dagangan oleh pemilik toko, sehingga pejalan kaki tidak bisa menggunakannya.
Dalam hak-hak ekonomi, yang lemah tidak dilindungi, bahkan menjadi objek ekploitasi. Konsumen tidak dilindungi oleh praktik bisnis curang. Tanah yang dimiliki masyarakat adat berabad-abad diserobot oleh pengusaha yang kong kalikong dengan pejabat hanya karena mereka tidak memegang kertas yang disebut sertifikat tanah.
Hukum dan keadilan yang terus dijalankan dengan mencerminkan prakik “keadilan” berdasarkan kekuatan uang adalah bentuk perilaku intoleransi. Jika tentang hak-hak yang paling mendasar tidak dilindungi, maka intoleransi akan makin masif pada hal-hal yang lain. Dan hal ini tercermin pada perilaku calon anggota legislatif yang memasang spanduk sembarangan, termasuk dipakukan ke pohon di pinggir jalan, di tempet di depan rumah penduduk tanpa menghargai pemiliknya.
Semua itu terjadi dengan sangat masif dan merupakan pemandangan keseharian. Namun sejauh ini tidak bisa diselesaikan, karena pemerintahan yang seharusnya bekerja melindungi warga dengan mengurangi perilaku intoleran, justru sering menjadi agen perilaku intoleran. Pelanggaran hukum yang paling masif justru di ruang birokrasi dan lembaga-lembaga penegak hukum. Partai politik tidak malu-malu berkampanye anti korupsi, padahal di lembaga itu bercokol banyak koruptor, setidaknya terlihat dari mereka yang telah masuk bui, walaupun itu hanya gunung es dari fenomena intoleransi ini.
Terlalu Terbelakang
Intoleransi adalah penyakit yang mengerika dan menjijikan dalam relasi antar individu atau kelompok, karena menggerogoti modal sosial. Relasi yang saling menghargai adalah modal sosial paling mendasar bagi eksistensi komunitas manusia. Institusi negara dibangun antara lain agar relasi ini dilindungi dari sikap dan perilaku intoleransi untuk menjaga eksistensi bangsa.
Intoleransi yang masif menandai buruknya relasi adalah pertanda keterbelakangan peradaban manusia, sekalipun dalam realitas hidup dengan teknologi yang paling moderen. Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi masalah yang serius, dan tidak ada pilihan lain kecuali mengatasinya.
Dalam upaya mengatasinya, relasi harus dibangun dengan kesadaran saling menghargai yang disebut sebagai perilaku yang toleran pada pihak lain. Sikap saling menghargai dan bisa hidup berdampingan secara damai dalam satu komunitas sering disebut sebagai sikap ko-eksistensi. Namun hal ini tidaklah cukup bagi sebuah bangsa yang ingin maju.
Dalam kenyataan belakangan ini, sikap ko-eksistensi yang ingin dibangun saja masih menghadapi tantangan. Perilaku yang ingin “meniadakan” pihak lain masih menampilkan kecenderungan yang kuat. Sebagai contoh adalah perilaku dan kebijakan yang terus membanjiri pasar dengan buah dan sayur impor adalah upaya melemahkan kaum petani. Eksistensi mereka terancam, dan dipertahankan sejauh bisa dieksploitasi, dan untuk itu mereka terus didorong menjadi lemah.
Kemajuan suatu bangsa akan ditopang oleh modal sosial yang ditandai relasi yang pro-eksistensi, di mana relasi yang dibangun bukan hanya mampu berdampingan tanpa konflik, tetapi relasi yang saling memberdayakan. Sebagai bagian bangsa, kita tidak cukup hanya membiarkan yang lain “ada”, tetapi kita perlu saling berbagi dan maju serta sejahtera bersama yang lain.
Intoleransi memang tidak dilakukan oleh mayoritas warga bangsa. Perilaku dan sikap toleran atau ko-eksistensi juga masih dipegang oleh warga bangsa ini, bahkan tidak bisa dipungkiri adanya warga yang justru terus gigih dengan sikap yang pro-eksistensi dengan membantu yang lemah. Namun perilaku intoleransi oleh sebagian warga dalam berbagai bidang kehidupan terus saja dibiarkan, bahkan pelakunya justru ada di pemerintahan. Hal ini yang membuat masalah ini serius dan kritis, bahkan menjadikan kita tampak begitu terbelakang.
Pemilihan umum haruslah menjadi peluang emas bagi bangsa ini mengatasi “penyakit” intoleransi, dan hasil pemilu yang membaik hanya akan terlihat dari kecenderungan intoleransi yang menurun melalui terpilihnya pemimpin yang berkualitas. Jika yang terjadi sebaliknya, maka perlu ada koreksi.
Maka dalam pemilu kali ini, pemilih harus tegas menolak partai atau caleg yang telah terbukti atau berkecenderungan berperilaku intolaran dalam berbagai bidang. Ini adalah pertaruhan besar bangsa kitai yang bergantung pada kesadaran pemilih.
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...