Pemimpin Baru Terpaksa Naikkan Harga BBM dan Tarif Listrik
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Pemerintahan mendatang terpaksa menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik untuk menjaga defisit transaksi berjalan,” kata Senior Economist Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan, Jumat (4/7).
Ia mengomentari pemimpin mendatang—yang akan ditentukan melalui Pemilihan Umum Presiden 9 Juli 2014—yang akan memiliki pekerjaan berat untuk mengurangi subsidi yang selama ini membebani anggaran.
Fauzi menjelaskan penyebab masih negatifnya transaksi berjalan di Indonesia karena kebutuhan BBM di dalam negeri makin bertambah sehingga terpaksa impor minyak bumi dan bahan bakar minyak.
“Kalau melihat neraca transaksi berjalan 2009 sampai 2011 kita masih mengalami surplus, namun 2012 sampai dengan sekarang justru mengalami defisit,” jelas dia.
Tekanan terhadap ekonomi makin bertambah dipengaruhi tingginya persaingan kandidat kepala negara dapat dilihat volatilitas pergerakan rupiah, saham, dan imbal hasil obligasi, kata Fauzi.
Fauzi mengatakan, siapa pun presiden terpilih nantinya akan mencerminkan kondisi ekonomi Indonesia 10 tahun mendatang sehingga dia harus memiliki komitmen untuk memajukan ekonomi di Indonesia.
Apalagi kalau melihat perkembangan ekonomi dunia rata-rata saat ini justru tengah mengalami perbaikan seperti Amerika Serikat dan Eropa yang baru pulih dari resesi ekonomi. Tiongkok memang mengalami perlambatan tetapi tidak berpengaruh terhadap kondisi ekonomi.
Namun membaiknya kondisi ekonomi global tidak langsung berpengaruh ke Indonesia semua bergantung ada hasil pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang, serta dukungan DPR-RI terhadap kebijakan pemerintah, jelas Ichsan.
Harga BBM di Indonesia 40 persen di bawah harga dunia, sedangkan konsumsi BBM terus meningkat saat ini mencapai 1,5 juta barel, sebanyak 800 ribu barel harus diimpor, sedangkan sisanya dari dalam negeri.
Ichsan mengatakan, menjadi kewajiban Presiden mendatang mencari solusi mengatasi tingginya ketergantungan BBM, serta memiliki keberanian untuk mengurangi subsidi secara bertahap.
Ichsan juga mengungkapkan, hiruk pikuk pemilihan presiden dan wakil presiden juga telah mengakibatkan kekhawatiran pasar uang dan saham terlihat dari tingginya volatilitas pergerakan rupiah, indeks saham, dan imbal hasil obligasi.
Ichsan mengatakan, salah satu kekhawatiran pasar adalah kemampuan presiden dan wakil presiden mendatang dalam menjalin sinergi dengan DPR-RI untuk mengeluarkan kebijakan ekonomi.
Pekerjaan rumah lain adalah memulihkan kondisi ekonomi yang mulai mengalami perlambatan terutama sejak 2013 salah satu upaya mengembalikan kepercayaan investor sehingga investasi dapat meningkat dan memperbaiki kinerja ekspor, kata Ichsan.
Sedangkan CEO Standard Chartered Bank Indonesia, Shee Tse Koon mengatakan, SCB akan tetap berkomitmen untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di Indonesia.
Shee Tse Koon yang menggantikan Tom Aaker yang berakhir jabatannya pada akhir Juni 2014 sebagai CEO SCB Indonesia mengatakan, bisnis SCB tetap mengutamakan tata kelola usaha yang baik serta investasi komunitas.
“Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia memiliki ekonomi yang kuat, pengembangan infrastruktur, kekayaan alam, serta populasi penduduk besar merupakan peluang investasi yang prospektif,” jelas dia.
BI-Pemerintah Yakin
Di sisi lain, Bank Indonesia bersama pemerintah meyakini bahwa stabilitas makroekonomi masih terjaga dengan baik di tengah proses penyesuaian infrastruktur perekonomian ke arah yang lebih seimbang.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan di Jakarta, Jumat bahwa kendati ekonomi stabil, terdapat sejumlah risiko yang perlu diwaspadai baik yang bersumber dari eksternal maupun domestik.
“Kebijakan yang terkoordinasi antara moneter, fiskal, dan sektor riil diperlukan untuk dapat secara efektif mengelola berbagai potensi risiko yang berpotensi mengganggu stabilitas makroekonomi dan memperdalam perlambatan pertumbuhan ekonomi,” ujar Agus usai rapat koordinasi dengan Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tandjung dan sejumlah menteri terkait.
BI dan pemerintah menyepakati untuk memelihara stabilitas makro ekonomi dan menjaga kepercayaan pasar terhadap prospek perekonomian.
“Salah satu langkahnya yakni mengendalikan inflasi sesuai dengan sasaran yang ditetapkan,” kata Agus.
Agus mengatakan, pihaknya bersama pemerintah berkomitmen untuk mencapai sasaran inflasi jangka menengah yakni 3-5 persen pada 2016-2017 dan 2,5-4,5 persen pada 2018.
Selain itu, keduanya juga akan memitigasi risiko kenaikan inflasi volatile food dan administered prices, serta menjamin ketersediaan pasokan bahan pangan terutama menghadapi hari besar keagamaan dan memperkuat koordinasi TPI dan TPID.
“Rapat koordinasi juga sepakat untuk mempertajam upaya pengelolaan defisit transaksi berjalan,” kata Agus.
Agus menambahkan, BI dan pemerintah juga memandang bahwa utang luar negeri penting dalam pembiayaan pembangunan, namun diperlukan upaya untuk memitigasi risiko-risiko yang dapat timbul dari utang luar negeri agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi. (Ant)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...