Pemprov DKI akan Akuisisi Palyja dan Aetra
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama berwacana mengambil alih Palyja dan Aetra karena kesal dengan kinerja dua perusahaan pengolahan air bersih tersebut. Pemprov juga mengalami kerugian dari kerja sama tersebut.
Pasalnya, pasokan air bersih yang berkurang hingga 40 persen pada saat Jakarta dilanda banjir beberapa waktu lalu. Berkurangnya pasokan air tersebut dikatakan karena instanasi pengolahan air (IPA) turut terendam banjir. PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta adalah partner PDAM Jaya (Perusahaan Daerah Air Minum).
“Kita ambil alih Palyja dan Aetra saja. Tidak bisa lagi mengandalkan mereka,” kata Basuki, di Balai Kota, Rabu (26/2/2014).
Untuk merealisasikan rencana tersebut, Basuki kemudian mengutus dua perusahaan daerah yang akan membeli saham Palyja dan Aetra, yaitu PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan PT Pembangunan Jaya Ancol, yang keduanya dikenal sebagai badan usaha milik daerah (BUMD) yang bergerak di bidang properti. Meskipun demikian, Basuki yakin keduanya dapat mengatasi persoalan air bersih di Jakarta.
Sebelumnya, sejak Juni 2013 Basuki telah memberikan tiga opsi kepada Suez Environment sebagai investor mayoritas Palyja. Pertama, Basuki meminta Suez menyeimbangkan kontrak dengan PDAM Jaya. Kedua, Basuki akan melaporkan ke arbitrase di Singapura untuk menyelesaikan sengketa. Ketiga, Pemerintah Provinsi DKI akan melakukan penyitaan aset pemerintah yang dimiliki Suez Environment.
Ketiga opsi tersebut disampaikan Basuki karena Pemerintah Provinsi dan warga DKI Jakarta mengalami kerugian. Kerugian itu antara lain tingginya tingkat internal rate of return (IRR) atau pengembalian investasi Palyja sebesar 22 persen, kebocoran air hingga 42-45 persen, dan biaya sambungan pipa yang mencapai Rp 1,2 juta tiap rumah.
Akibat dari kerugian tersebut, timbul wacana bahwa Palyja akan dijual pihak asing, yaitu perusahaan air Manila Water. Namun hal itu ditentang dengan keras oleh Pemprov DKI. Basuki mengatakan, lebih baik Pemprov DKI yang membeli Palyja daripada harus menyerahkannya ke perusahaan asing asal Filipina tersebut.
“Kami menolak Palyja menjual saham terbesarnya kepada Manila Water. Lebih baik jual saja kepada kami, akan kami beli,” kata Basuki di Balai Kota (21/6/2013).
PKS Lebih Banyak Rugikan Pemprov DKI
Basuki juga mengungkapkan, perjanjian kerja sama (PKS) dengan pihak swasta selama ini lebih banyak merugikan Pemprov DKI Jakarta karena perjanjian tersebut diputuskan secara sepihak. Selain itu, tak ada ketentuan sanksi.
Dia mengatakan tidak bisa mengakuisisi Palyja karena dalam kontrak kerja sama, jika PDAM Jaya memutuskan kontrak dan mengambil alih Palyja, maka harus membayar denda empat triliun rupiah kepada Palyja.
Saat ini Pemprov DKI tengah mengkaji alternatif perjanjian dengan swasta. Ia menekankan pada isi perjanjian kerja sama dengan pihak swasta tersebut yang mengatakan harus menjamin adanya keuntungan 22 persen bagi pihak swasta. Jika tidak, Pemprov DKI dianggap memiliki utang kepada pihak swasta tersebut.
“Itu perjanjian konyol. Kalau beli PDAM langsung kena 4,06 triliun rupiah, kan lucu. Selama ini, mana ada perjanjian yang seperti itu? Sangat bodoh kita pernah tandatangani perjanjian yang merugikan kita seperti itu, makanya kita berusaha perbaiki,” kata Basuki di Balai Kota (26/2/2014).
Gugatan Warga kepada Pemprov DKI
Untuk mengetahui apakah benar Pemprov DKI melakukan akuisisi Palyja untuk menasionalisasikan pengelolaan air, sejak November 2012, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) melalui Tim Advokasi Hak atas Air telah mendaftarkan ‘Gugatan Warga Negara’ ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Febi Yonesta mengatakan bahwa LBH bersama KMMSAJ akan melayangkan gugatan serta uji publik kepada Gubernur DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta atas rencana pembelian saham Palyja.
“Jadi kita ingin tahu apa benar pembelian saham tersebut untuk nasionalisasi Palyja atau tidak. Karena kita tahu, PT Jakpro akan go public. Pembelian saham tidak otomatis membuat Palyja bubar,” kata Febi di LBH Jakarta, Kamis (20/3/2014).
Dengan adanya gugatan itu, langkah Pemprov DKI Jakarta untuk mengakuisisi saham Palyja mundur dari rencana awal pada bulan Desember 2013. Meski demikian, PT Jakpro tetap optimis merealisasikan keinginan Pemprov DKI.
Sebagai informasi, PT Jakpro yang akan go public, menurut Basuki tidak akan bermasalah karena Pemprov DKI akan mengendalikan 80 persen saham, dan jika ada pihak lain yang mau beli hanya bisa 20 persen saja.
“Mau swasta atau apa, kalau sahamnya kami pegang kenapa takut? Go public tidak akan sampai 100 persen. Mana mau orang asing beli 20 persen, tetapi kendali kita 80 persen?” ujar Basuki di Balai Kota, Jumat (21/3/2014).
Akuisisi oleh PT Jakpro Lebih Baik
Pemprov DKI berencana akan melakukan akuisisi dengan konsep B to B (business to business) dibandingkan dengan konsep antar negara, hal itu jika Palyja sampai menjual sahamnya kepada pihak asing.
Akuisisi Palyja melalui PT Jakpro lebih baik dilakukan dibandingkan harus membawa perkara ke sidang Makamah Agung, bisa memakan waktu bisa tiga tahun, sedangkan jika hendak dibawa ke pengadilan Singapura atau New York bisa 10 tahun.
“Lebih baik dilakukan B to B dibandingkan bicara antar negara karena akan lemah. B to B kami tawarkan kisaran Rp 1 triliun,” kata Basuki, Jumat (21/3/2014).
Menurut Basuki, lebih baik DKI mengalami kerugian Rp 1 triliun dibandingkan harus menunggu 5-6 tahun kemudian apabila perkara tersebut akan dibawa ke ranah hukum, baru setelahnya dilakukan akuisisi, hal itu bisa membuat DKI mengalami kerugian lebih banyak lagi.
PT Jakpro kini sedang dalam proses mengakuisisi saham Palyja milik PT Astratel dan Suez Environment.
Editor : Bayu Probo
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...