Pemuda Antar Iman Membahas Stereotipe Agama dan Pemahaman di Luar Konflik
BOSSEY, SATUHARAPAN.COM – Para pemuda dengan berbagai latar belakang agama bekerja sama untuk mengatasi masalah-masalah stereotipe agama dan mempromosikan sikap saling menghormati dan meningkatkan pemahaman mereka tentang agama-agama di luar paradigma konflik.
Mereka adalah pemuda dari Kristen, Muslim dan Yahudi yang bertemu dalam sebuah komunitas yang unik di Ecumenical Institute di Bossey, Swiss. Mereka tengah mengambil bagian dalam kursus musim panas tentang “Membangun Masyarakat Interfaith" yang akan berlangsung hingga akhir Agustus.
"Kursus ini merupakan kesempatan bagi saya untuk belajar tentang agama lain," kata Oriya Gorgi, peserta berusia 21 tahun dari iman Yahudi. Dia tinggal di Ashdod, Israel.
Dia seorang mahasiswa dalam studi agama dan budaya. Gorgi menganggap kursus sebagai ruang akademik untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan komunitas agama yang mungkin dianggap terlalu sensitif. "Di Bossey kita telah membahas berbagai isu, mulai dari tempat feminisme dalam Islam dengan nilai-nilai umum kedamaian dalam agama Kristen dan Yahudi," kata Gorgi.
"Pembahasan di sini berlangsung intensif dan menarik, dan kami tidak selalu setuju. Namun, pada akhir pembicaraan kami saya selalu menemukan sesuatu yang baru, bahkan tentang iman saya sendiri. Ini adalah penemuan yang menuntun kita untuk saling menghormati, toleransi dan penerimaan yang lain," kata dia.
Gorgi melanjutkan dengan mengatakan bahwa pengalamannya di Bossey telah menantang persepsi yang didasarkan pada laporan media bahwa sering menggambarkan agama hanya sebagai sumber perpecahan komunitas. "Iman kita memiliki lebih banyak kesamaan daripada yang kita pikirkan," kata dia.
Para peserta di Bossey juga terlibat dalam berbagi ekspresi yang berbeda dalam doa dan spiritualitas. Mereka juga menghadiri seminar ilmiah dan mengambil bagian dalam pleno dan diskusi kelompok.
Mempromosikan Harmoni Antaragama
Mataiva Dorothy Robertson menyampaikan dalam kursus itu pemahaman yang luas hubungan multi-agama. Robertson (34 tahun) berasal dari Gereja Methodist New Zealand. Dia menceritakan bahwa awalnya dia takut mengorbankan identitas iman Kristianinya. Ketakutan ini muncul dari pendidikan tradisionalnya di Pasifik Selatan.
"Pemahaman saya tentang iman entah bagaimana terbatas pada 'kebenaran saya' saja. Namun, saya akhirnya merangkul komunitas antar agama dengan sepenuh hati," kata dia.
"Percakapan dengan saudara-saudara Muslim dan Yahudi memberi saya pengetahuan yang kurang pada saya," kata Robertson. Dialog ini kata dia, memperkuat kebutuhan untuk menghormati agama lain, sikap yang dapat membantu menumbuhkan saling pengertian dan kepercayaan.
Robertson menyebutkan, sesi Penalaran Alkitab sebagai salah satu yang penting dalam kursus tersebut. "Wawasan mendalam tentang Alkitab, Al Quran dan Taurat menunjukkan bagaimana agama berbagi nilai-nilai umum kemanusiaan yang dapat digunakan untuk membangun kerukunan antaragama, keadilan dan perdamaian di masyarakat."
"Ketika saya kembali ke rumah, saya berharap untuk berkolaborasi dengan jaringan antaragama di Selandia Baru," kata dia menambahkan.
Wajah Agama di Balik Politik
Pengalaman yang sama dibagikan oleh Yusef Syed, seorang Muslim Syiah berusai 18 tahun dari Irlandia. Dia dilahirkan dari orangtua Pakistan. Syed telah bekerja sama dengan kelompok-kelompok agama di Dublin.
"Tidak mungkin ada pemahaman hitam dan putih dari agama apapun. Dengan berpartisipasi dalam kursusini, saya menyadari betapa pentingnya untuk memecahkan stereotipe yang melekat pada identitas iman," kata Syed.
"Hal ini menantang untuk menciptakan sebuah komunitas beragam keyakinan. Setelah terlibat dalam dialog, kita menyadari bahwa pengetahuan yang mendalam tentang agama-agama yang ada di balik wajah politik," kata dia. "Salah satu hal besar dalam kursus adalah untuk menciptakan beragam kelompok teman-teman,” kata dia menambahkan.
Tahun ini kursus musim panas diikuti 25 peserta dari Selandia Baru, Irlandia Israel, Amerika Serikat, Nigeria, Palestina, India, Lebanon, Swedia, Brazil, dan Jerman.
Kursi dimulai pada 2007 dan diselenggarakan oleh Ecumenical Institute Dewan Gereja-gereja Dunia ( World Council of Churches / WCC ) bekerja sama dengan pogram dialog antar agama dan kerjasama (WCC), Fondation Pour l' entre - Connaissance (Yayasan Antar Pengetahuan), dan Racines Fondation et Sources ( Yayasan Akar dan Sumber Daya). (oikoumene.org)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...