Penangkapan Preman Jangan Tebang Pilih
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dalam beberapa hari ini menangkapi orang-orang yang diduga sebagai preman di berbagai daerah. Mereka ditangkap di tempat-tempat keramaian, seperti pasar, terminal, dan perempatan jalan.
Mereka yang disebut preman adalah orang-orang yang sering meminta uang secara paksa kepada orang lain. Korban premanisme adalah supir angkutan umum, pedagang, pengendara, dan juga warga masyarakat secara umum. Mereka juga diidentifikasi suka memeras, merampas, dan kriminal lainnya, seperti mencopet.
Penangkapan ini dilakukan sebagai reaksi bahwa kasus penyerangan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta Maret lalu berkaitan dengan premanisme. Kasus ini mendorong pembicaraan secara luas di masyarakat dan membuka mata bahwa premanisme telah begitu masif di masyarakat dan meresahkan.
Polri sendiri sempat melakukan hal serupa di berbagai kawasan di Jakarta setelah terjadi sejumlah perkelahian masal antara kelompok-kelompok yang disebut sebagai kelompok preman. Namun upaya ini hanya “hangat-hangat tahi ayam.” Tidak ada upaya lebih lanjut, dan tidak merupakan upaya yang bersinergi dengan lembaga pemerintahan lain.
Apa yang dilakukan oleh Polri cenderung sebagai tindakan yang reaktif. Setiap kali ada kasus berkaitan dengan preman, polisi kemudian menangkapi preman. Namun setelah itu tidak ada upaya yang komprehensif, dan kemudian preman muncul kembali. Mereka masih wajah yang lama, bahkan kemudian juga muncul wajah baru.
Tindakan ini juga sebatas menangkapi mereka, dimasukkan ke tahanan dan diceramahi sebagai apa yang disebut “pembinaan.” Mereka kemudian dilepaskan karena tidak cukup bukti. Sering mereka yang ditangkap karena alasan biasa “keluyuran” di tempat keramaian, tidak menunjukkan identitas (KTP), tidak punya pekerjaan, penampilannya sebagai preman seperti bertato. Padahal penangkapan pelaku kriminal membutuhkan bukti untuk diproses secara hukum.
Cara-cara penangkapan seperti ini yang membuat premanisme bukannya berkurang, tetapi terus tumbuh bahkan tidak terbatas di kota besar. Masalah premanisme juga menyangkut masalah lapangan pekerjaan yang tidak diperhatikan secara serius oleh pemerintah.
Yang paling serius, pemerintah dan Polri seharusnya tidak tutup mata terhadap kenyataan bahwa premanisme di Indonesia jauh melampaui kelompok yang selama ini ditangkap polisi. Mereka yang suka memeras juga berada di kantor kelurahan, kantor kecamatan, di kepolisian, di kantor pajak, di kantor bea cukai, di jembatan timbang, di kantor dewan, dan di kantor pemerintahan yang lain.
Selain itu juga ada kelompok warga masyarakat yang terang-terangan melanggar peraturan dan dibiarkan, bahkan dilindungi. Tindakan seperti antara laian penyerangan terhadap kelompok agama, rumah ibadah, penyerangan terhadap kelompok lain berlatar belakang kepentingan politik. Apakah mereka bukan preman? Mengapa mereka tidak ditangkap?
Munculnya premanisme di masyarakat justru terjadi karena meniru adanya premanisme di pemerintahan. Bahkan sudah menjadi pembicaraan di publik bahwa preman itu juga dilindungi oleh orang-orang di pemerintahan. Preman jenis yang terakhir itu justru yang sangat mengancam kehidupan bangsa.
Cara pemerintah menghadapi penyakit sosial dan kriminalitas yang bersifat reaktif dan parsial hanya akan mengukuhkan kondisi bahwa hukum memang “bisa dipermainkan.” Apalagi penangkapan ini sangat mencolok sebagai tindakan “tebang pilih.” Karena preman di pemerintahan justru tetap hidup dengan aman.
Tindakan pemerintah dan Polri terhadap premanisme hanya akan mencapai hasil jika dilakukan secara komprehensif, menyangkut wibawa hukum, pembangunan ekonomi dan tenaga kerja, serta karakter bangsa. Polri, dan pemerintahan secara umum tidak akan mampu memberantasnya selama premanisme di pemerintahan masih ada. Jadi, mulailah dengan menangkap dan memenjarakan tukang peras, pemungut liar dan penelikung hukum di pemerintahan.
Editor : Sabar Subekti
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...