Pencemaran Minyak di Laut Timor, Tuntutan Petani Sekitar 200 Juta Dolar
KUPANG, SATUHARAPAN.COM - Tuntutan ganti rugi yang disampaikan para petani rumput laut dari Indonesia dalam gugatan "class action" di Pengadilan Federal Australia, atas musibah pencemaran minyak Montara di Laut Timor pada 2009 mencapai sekitar 200 juta dolar AS (Rp 2,6 triliun).
"Tuntutan ganti rugi tersebut, selaras dengan kerugian yang dialami oleh lebih dari 13.000 petani rumput laut Indonesia asal Nusa Tenggara Timur, yang terkena dampak langsung dari musibah pencemaran tersebut," kata pengacara para petani rumput laut, Ben Slade dari Kantor Pengacara Maurice Blackburn Australia dalam surat elektroniknya kepada Antara di Kupang, Kamis (4/8) pagi.
Maurice Blackburn Lawyers, sebuah kantor pengacara tertua dan terbesar di Australia yang didirikan pada 1919 ini, mau menjelaskan secara rinci mengenai gugatan "class action" dari para petani rumput laut asal Nusa Tenggara Timur yang sudah terdaftar di Pengadilan Federal Australia di Sydney, Rabu (3/8).
Kantor Pengacara Maurice Blackburn dan Ward Keller, sebuah kantor pengacara terbesar di Australia Utara yang diwakilkan kepada Greg Phelps, merasa terpanggil dengan advokasi yang dilakukan oleh Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni, terhadap nasib para petani rumput laut yang sudah lebih dari tujuh tahun, namun belum juga membuahkan hasil.
Selama lebih dari tujuh tahun YPTB, melakukan negosiasi dengan perusahaan pencemar PTTEP Australasia asal Thailand yang berkantor pusat di Perth Australia barat tidak membuahkan hasil, sehingga langkah gugatan secara "class action" ke Pengadilan Federal Australia di Sydney, dinilai sebagai jalan tengah terbaik dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Ledakan kilang minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009 itu, telah mencemari sebagian besar wilayah perairan Indonesia di Laut Timor, yang kemudian mengotori dan menghancurkan areal budidaya rumput laut milik para petani di pesisir kepulauan Nusa Tenggara Timur.
Ben Slade mengatakan, lebih dari 13.000 petani rumput laut asal NTT melakukan protes melalui "class action", terhadap produsen minyak dan gas bumi yang berbasis di Perth, Australia Barat, PTTEP Australasia yang mengklaim, bahwa lebih dari 300.000 liter minyak dan gas dimuntahkan setiap hari ke Laut Timor, setelah ledakan di pengeboran minyak Montara pada 21 Agustus 2009.
Ia mengatakan, bahwa tumpahan minyak menyerupai ukuran 10 kolam renang kelas olimpiade itu, berisi lumpur beracun yang terdiri dari zat kimia dan timah hitam serta dispersant yang disemprotkan Otoritas Keselamatan Maritim Australia (AMSA), untuk menemgelamkan tumpahan minyak ke dasar laut pada saat itu.
"Ini merupakan bencana utama lingkungan," kata Ben Slade, dan menambahkan PTTEP Australasia tidak menerima bahwa tumpahan minyaknya menyebabkan banyak kerusakan, namun Maurice Blackburn Lawyers telah menyaksikan langsung, bahwa tumpahan minyak sudah menghancukan rumput laut sebagai sumber mata pencaharian lebih dari 13.000 petani Indonesia di NTT.
Sementara Greg Phelps dari Kantor Pengacara Ward Keller mengatakan, kondisi rumput laut membusuk dan mati dalam tiga hari, dan selanjutnya para petani selalu mengalami kegagalan panen, ketika mencoba menanam benih baru pada tahun-tahun selanjutnya.
"Perusahaan minyak, yang seharusnya bertanggung jawab telah mencoba untuk bersembunyi di balik kemiskinan dan keterpencilan para petani rumput laut," katanya dan mengatakan bahwa "hal ini yang tidak bisa kami terima".
PTTEP Australasia yang mengelola kilang minyak Montara selalu membantah tumpahan mencapai perairan Indonesia, namun Ben Slade mengatakan dampak ekonomi dari tumpahan itu masih dirasakan oleh petani rumput laut hingga tujuh tahun setelah ledakan itu terjadi pada 21 Agustus 2009.
Daniel Sanda (58), petani rumput laut asal Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, NTT yang mewakili para petani rumput laut mendaftar gugatan "class action" di Pengadilan Federal Australia itu mengatakan, rumput laut merupakan sumber penghasilan yang telah membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan keluarga, membangun rumah, dan menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi.
"Kami pandang rumput laut sebagai emas hijau, karena telah memberikan hasil yang mengembirakan bagi kami sejak 2002 untuk membangun rumah, menyekolahkan anak dan lain-lain. Namun, setelah tragedi meledaknya kilang minyak Montara pada 2009, usaha kami menjadi sirna," katanya.
Dia mengatakan, memiliki tanaman rumput laut dengan hasil yang sangat baik sebelum tumpahan minyak Montara pada tahun 2009 menghancukan semuanya karena kondisinya tidak pernah pulih.
Ben Slade menyayangkan PTTEP Australasia tidak menerima fakta tersebut, dan tidak mempedulikan kondisi petani rumput laut di NTT yang begitu terpuruk.
Pada bulan Juli 2015, Aliansi Pengacara Australia (ALA) merilis sebuah laporan yang menggambarkan, bagaimana kondisi ribuan nelayan dan petani rumput laut menjadi lebih buruk dan menderita berbagai penyakit seperti gangguan pernafasan dan penyakit kulit yang tidak pernah dialami para petani sebelumnya.
Upaya penuntasan kasus melalui tindakan "class action" itu, mendapat dukungan dari Harbour Ligigation Funding Limited, sebuah lembaga donor terbesar yang berkedudukan di London, Inggris. (Ant)
Editor : Eben E. Siadari
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...