Loading...
SAINS
Penulis: Melki 18:45 WIB | Kamis, 05 Desember 2024

Penderita HIV/AIDS Butuh Dukungan Moral dari Keluarga

Ilustrasi - Seseorang membaca artikel dari Kementerian Kesehatan terkait Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan AIDS. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi DKI Jakarta memperkirakan saat ini terdapat sekitar 85 ribu orang pengidap HIV/AIDS di DKI Jakarta. (ANTARA)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis neurologi dari Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON) dr. Adisresti Diwyacitta, Sp.N mengatakan, dukungan moral dari keluarga sangat dibutuhkan bagi penderita HIV/AIDS, terutama yang mengalami komplikasi, sehingga dapat meringankan beban psikis mereka.

“Pasien itu mengetahui penyakit HIV sendiri sudah berat, apalagi mengalami masalah neurologis (komplikasi neurologis) misalnya kelemahan satu sisi tubuh di mana untuk bergerak saja sulit. Jadi, bantuan moril dan bantuan secara fisik dari keluarga itu sangat dibutuhkan,” kata Adis dalam diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (5/12).

Keluarga dapat membantu memantau tingkat kepatuhan penderita dalam meminum obat ARV dan obat-obat pendukung lainnya serta memastikan asupan gizi pada penderita tercukupi. Adis juga mendorong pihak keluarga untuk memiliki kemampuan mencari ilmu pengetahuan yang valid dan tepat terkait dengan pengobatan HIV/AIDS.

“Kalau untuk masyarakat sendiri, sama. Sebenarnya dukungan moril juga dibutuhkan. Maksudnya, jangan sampai mengucilkan atau memandang sebelah mata pasien-pasien HIV. Diharapkan juga bisa memberikan kesempatan yang sama terhadap pasien-pasien HIV layaknya orang normal. Jangan sampai karena HIV, jadi tidak berhak untuk bekerja,” ujar Adis.

Adis menjelaskan bahwa virus HIV dapat menyerang berbagai organ tubuh, salah satunya sistem saraf pusat. Virus HIV yang menekan daya tahan tubuh mempermudah terjadinya infeksi yang salah satunya bisa menyerang sel saraf.

Penderita HIV/AIDS yang mengalami defisit neurologis bisa mengalami gejala ringan seperti mudah lupa atau pikun hingga gejala berat seperti demensia hingga kelemahan pada satu sisi tubuh seperti stroke. Mempertimbangkan adanya kemungkinan komplikasi itu, Adis pun menekankan pentingnya deteksi dan pengobatan sejak dini.

“Untuk pencegahan secara umum, mencegah perilaku yang berisiko menularkan HIV seperti melakukan seks bebas atau bertukar-tukar pasangan, gonta-ganti jarum suntik dari orang lain, atau menggunakan alat sehari-hari dengan risiko yang sama seperti alat cukur atau sikat gigi dari orang lain. Dengan segera mendapatkan pengobatan, diharapkan tidak sampai ke dampak neurologisnya,” kata dia.

Sejauh ini, ujar Adis, belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS sepenuhnya. Namun, telah ada obat antiretroviral (ARV) yang perlu diminum seumur hidup untuk menurunkan risiko penularan dan mengurangi jumlah virus HIV dalam darah.

ARV akan membantu meningkatkan daya tahan tubuh sehingga pasien dapat hidup selayaknya orang normal. Namun, ia juga mengingatkan bahwa viral load yang tidak terdeteksi bukan berarti pasien bisa berhenti mengonsumsi ARV. Justru, ketika pasien putus obat ARV, jumlah virus HIV dalam darah nantinya akan kembali meningkat.

“Dengan mendapatkan pengobatan dini, minum ARV-nya teratur, itu pasti akan memperbaiki angka harapan hidupnya sehingga lebih lama. Bisa bekerja layaknya orang normal atau orang sehat biasanya. Sedangkan kalau sampai tidak minum obat, artinya dibiarkan begitu saja, mungkin kalau sudah sampai AIDS bisa tahan tiga tahun atau tidak terlalu lama,” kata Adis.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home