Pendeta GKJ Joyodiningratan Silaturahmi Jemaah Usai Salat Ied
SATUHARAPAN.COM – Setelah habis salat Idul Fitri di Masjid Al Hikmah, Surakarta, pendeta GKJ Joyodiningratan—yang sekompleks dengan masjid—akan keluar dan bersilaturahmi dengan jemaah.
“Biasanya saya begitu. Begitu usai salat, saya akan keluar gerbang gereja dan menyalami takmir masjid dan jemaah yang selesai melaksanakan ibadah,” kata Pdt Em. Widiatmo Herdjanto, S.Th dari GKJ Joyodiningratan kepada satuharapan.com akhir Juni lalu.
“Toleransi yang sudah berjalan lebih dari 60 tahun ini dibangun dari komunikasi yang intens di antara kedua belah pihak,” Kata pendeta kelahiran Yogyakarta ini.
Selama 67 tahun, Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan dan Masjid Al Hikmah berdampingan satu halaman dengan harmonis. Bahkan punya alamat surat yang sama di Jalan Gatot Soebroto No 222, Joyodiningratan, Solo. Kuncinya adalah komunikasi.
Menurut Pdt Widiatmo, GKJ Joyodiningratan dulu adalah bagian dari GKJ Margoyudan—yaitu kelompok Danukusuman, yang kemudian dimandirikan sejak 1929. Saat ini GKJ Joyodiningratan dilayani dua pendeta, yaitu Pdt Nunung Istininghyang, S.Si. dan Pdt Widiatmo Herdjanto, S.Th.(emeritus sejak 2010).
Saat didewasakan, warga Danukusuman mencari lahan untuk gedung gereja mereka. Lalu mendapat tawaran kavling tanah dari seorang pemuka masyarakat daerah Joyodiningratan.
Jika Idul Fitri Minggu, Kebaktian Pagi Ditiadakan
“Jika salat Idul Fitri bertepatan dengan hari Minggu, jadwal ibadah pagi kami tiadakan,” kata ayah dua putri ini. “Kami memberi kesempatan saudara-saudara Muslim di sekitar Masjid melaksanakan ibadah dengan tenang,” kata pendeta kelahiran Yogyakarta ini.
Apakah ada protes dari warga jemaat? “Awalnya ada. Namun bukankah dalam satu hari ada empat jadwal kebaktian? Dan, yang ditiadakan pun hanya yang pukul 6.30. Masih ada tiga waktu lain,” kata pengurus Universitas Kristen Surakarta ini. “Lagi pula, kebetulan ini belum tentu terjadi setahun sekali,” ia menambahkan.
Khotbah Jumat Tidak Pakai “Toa”
Menurut Pdt Widiatmo, karena berdampingan, pengurus Masjid juga memutuskan saat salat Jumat, mereka memutuskan khotbah Jumat tidak memakai pengeras suara yang dipancarkan ke luar lingkungan masjid. “Tidak pakai Toa,” kata Pdt Widiatmo.
Apa pasal? Beberapa tahun lalu, sewaktu tiap khotbah Jumat masih memakai “Toa”, ada pengkhotbah undangan yang dengan berapi-api berkhotbah tentang betapa sesatnya ajaran Kristen. Mendengar itu—pastori Pdt Widiatmo berada tepat di belakang masjid—menelepon pengurus masjid dan memprotes bahwa khotbah tersebut sangat mengganggu, selain isinya juga volume suara pengeras suara.
“Mereka minta maaf dan memutuskan untuk tidak lagi mengundang sang pengkhotbah,” kata Pdt Widiatmo. “Juga, mereka akan mencari pengkhotbah yang lebih moderat,” lanjutnya, “Dan, supaya tidak mengganggu, Masjid Al-Hikmah memutuskan tidak menghidupkan pengeras suara luar saat khotbah.”
“Gangguan lain” sempat terjadi saat ada penyumbang pengeras suara masjid. Suatu kali datang beberapa pengeras suara masjid sumbangan dari seorang donatur. Namun, si donatur memaksa untuk memasang sendiri pengeras suara. Begitu pengurus masjid tahu bahwa ada satu pengeras suara yang seharusnya di arahkan ke arah yang jauh—dalam ajaran Islam, seruan untuk beribadah adalah hal yang dipuji sehingga pengeras suara menjadi penting—tetapi diarahkan ke bawah ke arah gereja, buru-buru pengurus masjid menelepon agar tidak terkejut dengan volume suara masjid. Mereka akan mengubah arah pengeras suara ke atas setelah sang donatur pergi.
Pdt Widiatmo berharap agar keharmonisan gereja dan masjid ini terus menginspirasi masyarakat Indonesia. Sebagai tanda kerukunan antarmereka, sebuah tugu lilin didirikan di antara bangunan gereja dan masjid. Beberapa waktu ke depan majelis dan pendeta GKJ Joyodiningratan akan mendatangi halal bihalal warga sekitar Jl. Gatot Subroto dalam rangka merayakan Idul Fitri.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...