Pendidikan bagi Yatim Piatu Afghanistan
KABUL, SATUHARAPAN.COM - Serangan udara Uni Soviet menghancurkan rumah keluarga Andeisha Farid, pada hari kelahirannya, pada 1983. Serangan tersebut memaksa warga desa untuk mengungsi. Keluarga Farid memilih Iran, dan ia menghabiskan masa kecilnya di kamp pengungsi yang tidak memiliki sekolah, fasilitas medis, bahkan air minum.
Anak meninggal dunia karena diare, demam, atau penyakit lainnya, menjadi pemandangan biasa, seperti dikisahkan Farid kepada Deutsche Welle. Pengungsi harus jalan jauh untuk mengambil air.
"Tentu hidup dengan kondisi seperti itu, tanpa fasilitas, tanpa akses terhadap kebutuhan mendasar atau hak asasi seperti sekolah atau fasilitas medis, sangat sulit," ia mengingat, "Namun pada saat yang bersamaan membawa perubahan besar bagi hidup saya."
Tumbuh besar di kamp pengungsi, mendorong Farid untuk berbagi kesempatan yang pernah ia dapat, menyelenggarakan pendidikan bagi yatim piatu. Organisasi Andeisha Farid memberi pendidikan ekstra bagi yatim piatu seusai jam sekolah.
Memberi Bekal
Pada saat Farid berusia 6 tahun, orangtuanya mengirimnya ke Pakistan untuk mendapatkan pendidikan. Ia tinggal di hostel dan mengikuti kelas di sebuah sekolah dalam kamp pengungsi. Saat menempuh studinya ia bertekad untuk membantu orang lain mendapatkan kesempatan yang sama.
Farid mewujudkan tekadnya. Pada 2007, pada usia 24 tahun, ia kembali ke Kabul dan mendirikan Organisasi Perawatan dan Pendidikan Anak-anak Afghanistan (AFCECO). Misinya, menyediakan sekolah yang berkualitas bagi sebagian kecil dari 1,6 juta yatim piatu di Afghanistan.
Panti asuhan AFCECO memiliki klinik medis sendiri dan menawarkan kursus khusus seperti bahasa Inggris, kesenian, dan komputer. Banyak anak yang tinggal di panti asuhan Kabul sudah menempuh studi di sekolah umum Afghanistan.
"Kami memberi mereka bekal tambahan untuk menempuh studi. Kami menyediakan kelas-kelas sains, seperti matematika, biologi, fisika, kimia, sejarah dan geografi," ia menambahkan.
Tantangan Besar
Kini AFCECO melayani hampir 600 anak-anak, dan telah membuka 11 panti asuhan, sembilan di Afghanistan dan dua di Pakistan.
Upaya Farid menarik simpati dari seluruh dunia, termasuk dari Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang menyebut nama Farid dalam sebuah pidato mengenai kewirausahaan sosial pada 2010. Farid juga pernah diganjar penghargaan Global Women Leaders Mentoring Award oleh Goldman Sachs dan majalah Fortune serta Vital Voices Global Leadership Award.
Menjalankan seluruh panti asuhan memang bukan pekerjaan mudah. Farid mengaku organisasinya telah menghadapi banyak tantangan, terutama dalam memberi pendidikan bagi anak-anak perempuan.
"Dalam Pemerintah Afghanistan terdapat sejumlah elemen yang tidak menghargai hak perempuan atau mendukung pendidikan bagi perempuan. Ini adalah tantangan besar karena kami kesulitan dalam dua tahun terakhir untuk mengedukasi anak-anak perempuan, sekadar untuk memberikan kesempatan yang setara dengan anak lelaki," ujarnya.
Berjuang
Sekolah yang menawarkan pendidikan bagi anak-anak perempuan selalu menjadi target pemberontak yang menentang pendidikan bagi perempuan. Menurut PBB, anak perempuan merupakan mayoritas dari 38 persen atau 4,2 juta anak usia sekolah yang tidak mendapatkan akses terhadap pendidikan di Afghanistan.
Namun Farid tetap bertekad untuk memperkaya hidup anak-anak yatim piatu dan memberi mereka alat yang dibutuhkan untuk membangun negara yang lebih baik.
"Saya ingin melihat insinyur-insinyur membangun masa depan Afghanistan, para dokter merawat warga Afghan, guru-guru yang sangat dibutuhkan warga Afghan, demikian juga para bidan karena Afghanistan masih memiliki angka kematian tertinggi di dunia," kata Farid. (Deutsche Welle)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...