Pendidikan Kontekstual Dibutuhkan Masyarakat Adat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kurikulum pendidikan nasional telah berupaya mengakomodasi kekhususan budaya masyarakat adat di Indonesia. Salah satunya melalui celah pendidikan muatan lokal. Sayangnya, pendidikan muatan lokal masih memiliki porsi kecil dan bergantung pada inisiatif masing-masing satuan pendidikan.
Hal itu tentu belum menjawab kekhususan yang dimiliki masyarakat adat. “Untuk menjawab permasalahan tersebut, kita masih perlu memikirkan dan merumuskan secara bersama antara pihak-pihak terkait untuk memunculkan kurikulum pendidikan kontekstual yang pas terhadap keberadaan masyarakat adat,” kata Herry Yogaswara, mewakili Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada pembukaan diskusi bertajuk "Mencari Rumusan Pendidikan Kontekstual bagi Masyarakat Adat", Selasa (27/09), di LIPI Pusat Jakarta, seperti yang dilansir situs lipi.go.id.
Herry mencermati, kurikulum sistem pendidikan nasional saat ini masih belum sesuai dengan konteks lokal dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat.
“Sistem tersebut mencerabut anak-anak masyarakat adat dari orang tua, budaya, pola pikir, cara hidup dan pengetahuan di wilayah adat, yang menyebabkan hilang rasa percaya diri dengan identitasnya,” katanya.
Dia mengatakan, LIPI bekerja sama dengan Sokola Institute, berupaya merumuskan kurikulum pendidikan kontekstual bagi masyarakat adat tersebut. Kurikulum tersebut mengacu pada deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan Indonesia menjadi salah satu negara yang menandatanganinya.
Deklarasi tersebut menyebutkan masyarakat adat memiliki hak untuk membentuk dan mengontrol sistem pendidikan mereka, dan institusi-institusi yang menyediakan pendidikan dalam bahasa mereka sendiri, dengan suatu cara yang cocok dengan budaya mereka tentang pengajaran dan pembelajaran.
Abdon Nababan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menambahkan, pendidikan untuk masyarakat adat adalah melakukan perubahan pola pikir atas rekonstruksi sosial yang telah berlangsung lama dan terus terjadi.
“Hal yang harus diubah adalah perspektif bahwa masyarakat adat adalah masyarakat kelas dua. Anggapan tersebut perlu dihilangkan agar pendidikan kontekstual bisa berjalan dengan baik,” katanya.
Menurutnya, pendidikan berbasis masyarakat adat secara garis besar bertujuan untuk memberikan ruang untuk mempraktikkan dan mewariskan kembali pengetahuan leluhur.
“Selain itu, juga untuk memberantas buta huruf di masyarakat adat, dan membuka kesadaran masyarakat dan individu untuk memahami ketertindasan sosial, politik dan ekonomi serta bertindak melawan elemen-elemen penindasan yang ada di dalam masyarakat adat, “ kata Abdon.
Editor : Sotyati
Ajax Akan Gunakan Lagi Logo Tahun 1928
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Klub sepak bola Liga Belanda, Ajax Amsterdam, kembali menggunakan logo la...