Pendidikan Pluralitas Sejak Dini
Saya berharap anak saya merasakan indahnya perbedaan itu.
SATUHARAPAN.COM – Saya menonton video di YouTube Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama berbicara di kalangan tokoh muslim. Ahok, begitu nama Gubernur DKI biasa disebut, membuat para tokoh agama Islam itu terbahak-bahak. Mereka tertawa lepas karena Ahok menceritakan pengalamannya sejak kecil, termasuk ajaran orangtuanya bagaimana bersikap kepada umat lain di luar iman yang Ahok imani. Ahok bersekolah di SD dan SMP perguruan Islam di Kabupaten Belitung Timur, provinsi Bangka Belitung.
Mengamati pidato Ahok yang santai itu, saya mencoba membandingkannya dengan pengalaman saya dengan umat beragama lain. Sejak kecil hingga SMA saya hidup di wilayah yang penduduknya 90% lebih beragama kristen. Umat Islam dan aliran kepercayaan sangat sedikit. Lalu, saya ingat sewaktu pesta nikah saya, yang diharuskan memotong kerbau agar umat muslim dan aliran kepercayaan merasa nyaman untuk makan. Tentunya, dari pertimbangan biaya memotong babi untuk pesta adat pernikahan jauh lebih murah.
Keputusan untuk memotong kerbau waktu pesta pernikahan saya tidak cukup, ada syarat lain yaitu harus yang beragama Islam yang memotong. Waktu mau memotong kerbau itu sedikit rumit karena warga Islam yang biasa memotong kerbau di kampung kami baru meninggal. Jadi, setelah diskusi panjang diputuskan bahwa yang memotong kerbau itu seorang anak muda anak dari almarhum yang biasa memotong kerbau di kampung kami. Walaupun di Desa kami mayoritas kristen, permintaan umat Islam semua dipenuhi. Yang terpenting adalah kebersamaan. Bagi orang kristen siapa yang memotong tidak masalah, maka titik temunya adalah orang Islam yang memotong kerbau jika ada pesta.
Istri saya sekolah di Jakarta yang teman-teman sekolahnya kebanyakan muslim pernah mengeluh, bagaimana dengan anak kita, sekolah di yayasan kristen, kursus-kursus dan berbagai kegiatan teman-temannya hampir semua kristen. Di tempat tinggal kami teman-temannya beragama kristen. Lalu, saya sarankan agar sekolah di negeri saja. Istri saya tidak setuju karena di tempat kami tinggal, kami merasa bahwa swasta lebih bermutu dibanding sekolah negeri. Apakah swasta lebih bermutu dari sekolah negeri? Tidak jelas indikatornya. Konon sekolah negeri gurunya suka absen. Padahal, belum dicek kebenarannya.
Menyadari masa depan anak harus hidup berdampingan dengan berbagai suku dan agama yang berbeda, saya mengambil komitmen agar setiap Sabtu bermain futsal dengan anak-anak seumuran dengan anak saya yang keyakinannya berbeda. Setelah berlangsung sekitar 3 tahun saya merasa lega. Anak saya punya sahabat karib anak-anak yang berbeda keyakinan. Mereka bermain futsal sepuasnya, minum bersama, jajan bersama, tanpa ada sekat.
Ketika Hari Raya Idul Fitri, saya minta anak saya agar menyalam dan mengucapkan selamat Idul Fitri. ”Apakah bisa, pak?” tanya anak saya.
”Pasti bisa! Hiduplah bersama dengan yang berbeda keyakinan. Terpenting jaga imanmu. Berakar, bertumbuh dan berbuahlah imanmu, anakku,” jelas saya.
Kini saya lega, kelak di masa dewasa anak saya akan bercerita kepada dunia bahwa sejak kecil dia sudah bergaul dengan teman-temannya yang memiliki iman berbeda. Kisah-kisah di lapangan bola cukup untuk dia bicarakan. Saya berharap, anak saya merasakan indahnya perbedaan itu.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...