Peneliti: Alasan Penunjukkan Kembali Novanto Tidak Relevan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menganggap dua alasan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang melatarbelakangi diusulkannya kembali Setya Novanto sebagai Ketua DPR oleh Partai Golangan Karya tidak relevan.
"Intinya, keputusan MK dan MKD tidak perlu dijadikan bukti untuk melakukan peninjauan kembali terkait dengan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Setya Novanto karena berbeda ranah," kata Feri saat konferensi pers "Menolak Langkah Politik Menjadikan Setya Novanto Menjadi Ketua DPR" di kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Rabu (23/11).
Berbeda ranah terkait Setya Novanto itu, kata dia menyangkut masalah etik yang diputuskan dalam Mahkamah Kehormatan Dewan dan masalah hukum yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
"Satu ranah etik sementara keputusan MK berada di wilayah ranah hukum acara di mana perkara itu harus dilakukan oleh penegak hukum seperti kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK, ini berbeda ranah," tuturnya.
Partai Golkar mengusulkan kembali Setya Novanto menjadi Ketua DPR menggantikan Ade Komaruddin.
Terdapat dua alasan yang melatarbelakanginya. Pertama, adanya putusan MK atas uji materi Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menyangkut makna "pemufakatan jahat" yang diajukan Setya Novanto.
MK menyatakan mengabulkan permohonan secara seluruhnya dalam putusan MK Nomor 21/PUU-XIV/2016. Selain itu, melalui putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016, MK menyebutkan bahwa rekaman yang sah digunakan sebagai alat bukti adalah apabila dilakukan atas permintaan penegak hukum.
Kedua, dikabulkannya permohonan peninjauan kembali Setya Novanto atas persidangan etik oleh MKD. MKD memutuskan untuk memulihkan harkat dan martabat Setya Novanto yang sebelumnya disidang MKD atas dugaan pelanggaran kode etik DPR sehubungan dengan kasus "Papa Minta Saham".
Putusan MK dijadikan sebagai dasar putusan MKD tersebut.
Menurut Feri, Partai Golkar melupakan fakta bahwa Setya Novanto mengundurkan diri sebagai Ketua DPR.
"Keputusan tersebut bahkan diambil sebelum MKD memutuskan sanksi yang akan dijatuhkan kepada Setya Novanto. Artinya, Setya Novanto tidak lagi menjadi Ketua DPR bukan akibat keputusan MKD atas kasusnya, melainkan keputusan Setya Novanto sendiri," ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, putusan MKD untuk memulihkan nama baik Setya Novanto seharusnya tidak dijadikan alasan Partai Golkar untuk mendudukkan kembali Setya Novanto sebagai Ketua DPR.
Sebelumnya, Partai Golkar kembali mewacanakan akan mengembalikan kursi ketua DPR RI kepada Setya Novanto, keputusan itu diambil dalam Rapat Pleno DPP Partai Golkar pada Senin (21/11).
Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan keputusan itu diambil dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi terkait kasus "Papa Minta Saham" yang menyeret nama Novanto.
Keputusan MK tersebut dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI yang tidak pernah menjatuhi hukuman untuk Novanto.
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan DPP Partai Golkar Yorrys Raweyai mengatakan, selanjutnya DPP Partai Golkar akan berkomunikasi dengan internal partai seperti Dewan Pembina, Dewan Pakar, dan Dewan Kehormatan.
Dia mengatakan, wacana pengembalian kursi Ketua DPR bukan karena performa Ade, melainkan untuk mengembalikan wibawa partai. (Ant)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...