Peneliti Burung Rangkong Terima Penghargaan Whitley dari Inggris
LONDON, SATUHARAPAN.COM – Peneliti dan konservasionis rangkong gading asal Indonesia, Yokyok “Yoki” Hadiprakarsa (45), memperoleh penghargaan Whitley Award 2020 dari Inggris berkat kontribusinya selama 20 tahun menyuarakan pentingnya pelestarian burung rangkong gading, dan spesies rangkong lain yang ada di negeri ini.
Yokyok “Yoki” Hadiprakarsa, seperti dirilis Mongabay Indonesia dari Whitley Fund for Nature, Rabu, 29 April, memperoleh penghargaan Whitley Award 2020 atau yang sering disebut “Oscar Hijau”, sebagai bentuk apresiasi terkait upayanya melindungi spesies rangkong gading (Rhinoplax vigil) dan spesies rangkong lain di Indonesia, bersama enam orang lain dari berbagai negara.
"Sebagai penerima Whitley Award 2020, saya mengucapkan terima kasih telah diberi kepercayaan mendapatkan penghargaan prestise di dunia untuk Konservasi Satwa Liar," kata Yoki kepada Antara London, Kamis (30/4).
Penghargaan ini sangat penting bagi upaya konservasi burung rangkong gading di Indonesia, habitat dan populasi terbesar bagi burung yang megah ini. Namun, di sisi lain juga sumber terbesar perburuan perdagangan ilegal di dunia.
“Saya pribadi merasa bangga menerima penghargaan ini, namun saya hanya sebagai perantara untuk memastikan konservasi rangkong terus berjalan di Indonesia," katanya.
Melalui penghargaan ini, Yoki bersama tim Rangkong Indonesia, akan terus berupaya membangun relasi positif antara rangkong dengan masyarakat yang hidup berdampingan dengan rangkong, melalui program ekowisata pengamatan burung rangkong.
Dalam laporan hasil investigasi yang dibuatnya, pada tahun 2013 terdapat 6.000 rangkong gading yang ditembak dan dipenggal untuk diambil paruh dan ornamen (balung) kepalanya, dan dijual di pasar gelap internasional.
Untuk melestarikan rangkong gading, Yoki dan Rangkong Indonesia, melatih warga lokal untuk memonitor habitat rangkong dan menginisiasi ekowisata.
Rangkong gading adalah spesies terancam punah dan masuk dalam daftar status Kritis (Critically Endangered), akibat perdagangan satwa liar ilegal. Sebagai spesies rangkong yang paling diburu di dunia, ornamen ukiran rumit dari balung dan paruh rangkong gading kini sangat dicari di pasar gelap internasional.
Tonjolan merah menakjubkan yang berbentuk seperti helm pada paruhnya (balung), membuat spesies ini menjadi target menguntungkan bagi pemburu liar. Ornamen ini dijual kepada para kolektor, termasuk anggota keluarga raja-raja, selama ratusan tahun.
Berkurangnya populasi rangkong memberikan dampak nyata dan signifikan terhadap kondisi hutan di Asia, karena spesies ini adalah penebar benih yang sangat penting di ekosistem hutan. Ketika mereka hilang, fungsi ekologis ekosistem pun terdegradasi.
Pada tahun 2013, Yoki merilis ada 6.000 rangkong gading yang ditembak dan dipenggal kepalanya di Kalimantan Barat, untuk kemudian diperjualbelikan di pasar gelap.
Laporan investigatif ini sangat mengejutkan, dan turut menghasilkan desakan bagi Pemerintah Indonesia untuk turun mengambil tindakan.
“Paradigma konservasi satwa liar secara global harus diubah untuk mendukung spesies yang tidak populer atau kurang dikenal yang saat ini menghadapi ancaman serius,” kata Yoki dalam sebuah wawancara dengan Mongabay beberapa waktu lalu.
Pengidola Sir David Attenborough, ini memilih berkarier dibidang konservasi mendedikasikan 20 tahun terakhirnya untuk konservasi rangkong Indonesia.
Spesies Sakral
Yoki, pemuda kelahiran Bogor, Jawa Barat, sejak muda memilih jalur konservasi. Dia mengambil kuliah di jurusan biologi di Universitas Pakuan Bogor, sebelum meneruskan masternya dalam bidang pengelolaan sumber daya alam di University of Georgia, AS.
Untuk melestarikan rangkong, Yoki bekerja sama bersama masyarakat lokal lewat pemberdayaan ekonomi warga, yaitu mendorong munculnya kegiatan penelitian partisipasif, yaitu pengamatan rangkong dan habitat sarangnya, serta jasa ekowisata pengamatan burung (birdwatching).
Yoki percaya, kegiatan ini akan memungkinkan masyarakat setempat mendapatkan penghasilan dari burung rangkong, dengan cara yang manusiawi dan berkelanjutan. Dalam paradigma konservasi berkelanjutan, rangkong akan lebih berharga dalam kondisi hidup daripada mati.
Bagi masyarakat Dayak, -masyarakat asli Pulau Kalimantan, rangkong adalah spesies sakral. Dalam alam mitologi Dayak, burung rangkong adalah penjaga kehidupan dan akan menjadi perantara untuk mengantar roh orang yang meninggal kepada Tuhan.
“Pada saat penelitian skripsi saya di Sumatera, saya pertama kali mendengar suara tertawa maniakal rangkong gading saat ia terbang di atas saya. Saat itu saya langsung jatuh cinta,” kata Yoki menjelaskan awal perkenalannya dengan rangkong.
Sebagai pemenang penghargaan Whitley, Yoki memperoleh dana 40.000 poundsterling (Rp761 juta) yang akan digunakan untuk melanjutkan proyek konservasi rangkongnya.
Dengan dana ini, dia akan meneruskan upaya pemberdayaan masyarakat di tiga desa di Kalimantan Barat selama lima tahun ke depan.
Dalam inisiatif ini, akan ada sebanyak 100 orang warga lokal, yang dilatih untuk melakukan pengamatan burung. Di akhir program, kapasitas masyarakat lokal diharapkan meningkat, mereka akan berperan sebagai penjaga hutan, pemonitor rangkong dan habitat sarangnya, dalam rangka pencegahan tindak perburuan liar.
Untuk meningkatkan diseminasi informasi dan sosialisasi rangkong, Yoki pun menjadikan audio visual sebagai alat kampanye untuk edukasi publik. Tujuannya untuk membangun kesadaran literasi rangkong kepada para pelajar dan mahasiwa, guru, para pegiat lingkungan hingga para pengambil kebijakan.
Pada tahun 2013, Yoki bersama-sama dengan beberapa rekannya, mendirikan Yayasan Rekam Jejak Alam Nusantara, yang bergerak dalam bidang edukasi publik dalam bidang konservasi lingkungan dan alam. Saat ini yayasan telah memproduksi seri film dokumenter rangkong gading, yang tersedia dalam versi YouTube, juga dalam berbagai tautan sosial media.
"Pendekatan Yoki telah mendorong publik menghargai suatu spesies dan habitatnya, sambil memungkinkan mereka memperoleh manfaat ekonomi dari warisan ekologi yang kaya. Upaya Yoki menunjukkan bahwa konservasi itu tentang manusia,” kata Edward Whitley, pendiri Whitley Fund for Nature dalam siaran persnya.
Selain kepada Yoki, Whitley Award 2020 juga memberikan penghargaan kepada lima orang konservasionis lain, yaitu Abdullahi Hussein Ali (Kenya), Gabriela Rezende (Brasil), Jeanne Tarrant (Afrika Selatan), Phuntsho Thinley (Bhutan), dan Rachel Ashebofe Ikemeh (Nigeria).
Adapun konservasionis Patrícia Medici dari Brasil, dianugerahi Whitley Gold Award 2020 dan berhak menerima dana bernilai 60.000 Poundsterling (Rp1,1 miliar).
Total dalam kurun 27 tahun, Whitley Fund for Nature telah memberikan lebih dari 17 juta Poundsterling(Rp323 miliar) kepada lebih dari 200 pemimpin konservasi di lebih dari 80 negara. (Ant)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...