Peneliti CRCS UGM: Sumber Polarisasi di Papua bukan Agama
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tim Penulis Program Studi Agama dan Lintas Budaya/Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM) melansir sebuah kajian yang menarik terkait dengan Insiden Tolikara. Kajian itu diberi judul Tolikara, Idul Fitri 2015: Tentang Konflik Agama, Mayoritas-Minoritas dan Perjuangan Tanah Damai, dilansir melalui situs resmi crcs.ugm.ac.id, Minggu, 19 Juli, dan telah banyak dibaca dan didiskusikan di berbagai media sosial.
Kajian ini antara lain menyayangkan bahwa dalam keterbatasan informasi, sudah ada yang “menggoreng” berita itu untuk melakukan provokasi lebih jauh, menggiring isu ini menjadi konflik kekerasan antara Kristen dan Muslim—bukan hanya di Tolikara, tapi Papua, bahkan jangkauannya diperluas hingga Indonesia.
Padahal, menurut kajian ini, setiap ada konflik yang melibatkan atau menggunakan simbol-simbol agama dan mengenai umat beragama, hal pertama yang perlu dipahami adalah bahwa setiap konflik tidak pernah memiliki hanya satu sebab tunggal.
"Istilah konflik agama bisa saja digunakan untuk peristiwa dimana simbol agama dirusak, misalnya, atau identitas keagamaan orang-orang yang terlibat dalam konflik itu (pelaku atau korban) tampak nyata. Namun setiap konflik biasanya memiliki banyak penyebab. Konflik agama tidaklah sepenuhnya mengenai agama," tulis kajian itu.
Kajian ini lantas menyebutkan contoh, yaitu laporan CRCS mengenai Politik Lokal dan Konflik Keagamaan. Menurut laporan itu, semua konflik keagamaan yang dibahas menunjukkan ciri itu yaitu tidak sepenuhnya mengenai agama. Konflik yang dibahas termasuk kasus penyerangan sebuah komunitas Syi’ah di Sampang, kasus Gerjea HKBP Filadelfia di Bekasi, dan kasus pembangunan Masjid Nur Musafir di Batulpat, Kupang.
Ketiga kasus itu, menurut kajian CRCS, menunjukkan bagaimana konflik terjadi karena bertemunya kepentingan-kepentingan politik lokal dengan (manipulasi) simbol keagamaan. Pilkada di daerah-daerah itu menyediakan kesempatan bagi berkembangnya jenis politik identitas yang buruk. Dengan demikian faktor pentingnya di sini adalah politik lokal (yang biasanya memanas di sekitar waktu Pilkada). Dalam kasus-kasus lain mungkin ada faktor sosial-politik-ekonomi lain.
"Inilah rumusan yang cukup kuat untuk digeneralisir: apa yang disebut “konflik agama” mungkin memiliki unsur identitas agama, tapi jarang menjadi penyebab utama. Menyebut konflik agama seperti ini sebagai diakibatkan intoleransi adalah penjelasan yang terlalu mudah—sama halnya dengan konflik-konflik agama di banyak tempat lain," tulis kajian itu.
Dalam kasus di Tolikara, konteks pentingnya menurut kajian ini adalah kompleksitas dan kerentanan persoalan Papua pada umumnya. Kerentanan ini, seperti bisa dilihat dalam beragam kasus-kasus non-agama lainnya di Papua, kerap direspon oleh aparat keamanan secara represif dengan menggunakan senjata—untuk melukai atau membunuh. Secara lebih khusus, Kabupaten Tolikara sendiri cukup rawan-politik, seperti tampak dalam konflik di sekitar Pilkada pada Februari 2015.
Satu kecenderungan lain, menurut kajian CRCS, adalah adanya persaingan antara Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang mendominasi di daerah itu dengan kelompok agama lainnya (termasuk dengan Kristen denominasi yang berbeda).
"Situasi ini bisa jadi sudah menyediakan lahan yang siap diolah sewaktu-waktu untuk meletusnya konflik jenis apapun. Maka hal remeh, seperti soal speaker bisa dengan mudah meletuskan konflik kekerasan, bahkan merenggut korban jiwa."
Agama dan Adat: Sumber Perdamaian?
Menurut kajian ini, penanganan represif kerap muncul dari kesan yang sering dimunculkan bahwa Papua adalah daerah yang rawan konflik. Tapi kalaupun ada kebenaran dalam kesan itu, penyebab utamanya adalah konflik yang selama lebih dari 50 tahun terakhir ini tidak berhasil diselesaikan, utamanya oleh pemerintah pusat.
Kajian ini berpendapat, isu utama “kerawanan Papua” sesungguhnya jauh dari agama. Dalam Papua Road Map, misalnya, yang merupakan hasil kajian LIPI (2008), ada empat masalah utama yang diidentifikasi sebagai akar persoalan Papua, dan di sana, agama sama sekali bukan sumber masalah.
Tanpa mengingkari adanya gesekan-gesekan antar umat beragama (Kristen dengan Muslim, denominasi Kristen tertentu dengan denominasi lain dan dengan Katolik, juga antara kelompok-kelompok Muslim sendiri), menurut kajian ini, lembaga-lembaga keagamaan arus utama sebetulnya justru lebih dikenal sebagai aktor perdamaian.
Dalam konteks ini, salah satu contoh yang diangkat oleh kajian ini adalah Pater Neles Tebay, seorang pemimpin Katolik yang dikenal juga sebagai Koordinator Jaringan Damai Papua. Dalam pernyataannya mengenai insiden di Tolikara, Pater Neles mengungkapkan, “Budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu, apalagi membakar tempat ibadah.” Menurutnya, pembakaran musala di Tolikara adalah peristiwa pertama dalam sejarah Papua di mana sebuah tempat ibadah dibakar. “Maka, sebagai orang Papua, saya memohon maaf atas peristiwa yang melanggar norma adat ini,” katanya..
Dalam sebuah diskusi pada tahun 2013 yang diselenggarakan Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM (CRCS) bersama STAIN Papua dan melibatkan tokoh-tokoh agama, yang muncul justru adalah peran agama sebagai sumber modal sosial untuk perdamaian. Kisah-kisah kerukunan antar agama di masa kecil muncul dari banyak peserta. Ikatan adat yang amat kuat mampu melampaui batas-batas agama. Beberapa dari simbol-simbol adat itu telah menjadi objek penelitian, misalnya tulisan Budi Asyhari, Mutiara Terpendam Papua.
Ikatan adat yang kuat dan melampaui batas agama itu sebetulnya juga muncul di banyak tempat di Indonesia. Sebagian besar meyakini bahwa modal sosial yang berakar kuat dalam sejarah itu sebetulnya masih ada. Namun, dan ini adalah juga fenomena yang muncul di banyak tempat, ikatan adat itu dalam perkembangannya dapat kalah oleh kekuatan-kekuatan sosial-politik-ekonomi baru yang mencari bahan-bahan tambahan dalam menciptakan konflik; modal sosial itu dapat habis tergerus, jika tak dirawat. Dalam tekanan seperti itu, potensi agama dapat berubah—dari modal sosial untuk perdamaian menjadi potensi konflik.
Isu Pendatang-Orang Asli dan Mayoritas-Minoritas
Menurut kajian ini, di Papua sesungguhnya sumber polarisasi yang lebih penting bukanlah agama, namun antara pendatang dan orang asli Papua. Polarisasi yang tak sehat ini mewarnai kehidupan sosial dan ekonomi, dan sebagiannya muncul dalam UU Otonomi Khusus Papua. Politik identitas yang memberikan keistimewaan pada orang asli Papua dapat bermakna baik jika dipahami sebagai affirmative action, namun dapat pula menjadi penegasan polarisasi yang terlalu jauh.
Yang menarik, polarisasi itu bahkan muncul dalam kelompok-kelompok dalam suatu agama tertentu. Ada ketegangan dan klaim-klaim identitas yang dibuat untuk membedakan Kristen pendatang dan Kristen asli Papua; juga antara Muslim Papua dan Muslim pendatang.
Dalam diskusi yang disebut di atas, kajian ini mencatat ada kekhawatiran bahwa ketegangan kuat antar-agama sebagiannya dipicu oleh kelompok-kelompok agama pendatang itu. Banyak dari kelompok ini tak berbagi kearifan lokal dan ikatan adat yang melampaui batas agama itu.
"Jika analisis ini diteruskan lebih jauh, mungkin kita akan menyalahkan kelompok-kelompok pendatang. Namun ini terlalu sederhana juga. Perubahan demografi yang diakibatkan oleh makin hilangnya batas-batas antar wilayah sulit dielakkan—dan ini benar bukan hanya untuk batas suatu Propinsi, tapi bahkan juga batas negara. Saat ini kita tak bisa bermimpi akan adanya wilayah yang “murni” hanya dihuni “orang asli”. Yang jadi persoalan bukanlah melawan kecenderungan itu, tapi bagaimana memperkuat diri sendiri (atau daerah sendiri) untuk mampu bertahan menghadapinya."
Satu hal lain yang perlu dicermati, menurut kajian ini, adalah munculnya respon terhadap peristiwa di Tolikara, menyangkut kesan “mayoritas Kristen” yang menindas “minoritas Muslim” di Papua. "Ini adalah penyederhanaan yang berbahaya dan amat keliru. Berbahaya, karena tampaknya dalam retorika seperti itu terkandung keinginan untuk menjadikan konflik multi sebab menjadi konflik berdimensi-tunggal, bahwa seakan-akan ini semuanya adalah persoalan agama."
Menurut kajian ini, kesimpulan ini amat keliru karena dua hal. Pertama, seperti disebut di atas, tak ada konflik yang “murni konflik agama”. Kedua, yang lebih penting, ada imajinasi yang keliru bahwa setiap kelompok agama adalah suatu entitas tunggal yang terintegrasi sepenuhnya. Ini mengingkari kenyataan adanya beragam kelompok dalam satu agama, dan bahwa kelompok-kelompok tertentu dalam suatu agama dapat lebih mudah bekerjasama (atau berkonflik) dengan kelompok-kelompok tertentu dari agama lain.
Melampaui Agama
Selanjutnya, kajian ini mengingatkan pentingnya melakukan analisis yang melampaui kategori agama, bahkan dalam konflik-konflik agama. Di Indonesia yang, menurut Konstitusi, mencita-citakan suatu masyarakat dimana agama-agama dapat hidup berdampingan dan berperan secara konstruktif, kesetiaan utama kelompok-kelompok agama tak berhenti pada agamanya sendiri. Solidaritas pun lebih mudah dibangun di antara kelompok lintas agama yang memiliki aspirasi keindonesiaan yang sama.
Masyarakat Papua—apapun agamanya—dengan segala keterbatasannya, dengan segala kesulitannya, dan perlakuan yang buruk selama puluhan tahun, telah kerap diuji dengan persoalan-persoalan sulit semacam ini. Sementara masyarakat memperkuat dirinya dengan aliansi-aliansi dan ide-ide yang melampaui batas-batas agamanya, kerap kali yang disesalkan adalah pemerintah pusat dan daerah yang salah langkah atau bahkan memperburuk situasi, dan tindakan aparat keamanan yang represif secara tak terukur. Yang terakhir ini tampak jelas dalam penanganan kasus Tolikara.
Menurut kajian ini, Indonesia tak kurang memiliki contoh-contoh keberhasilan penanganan konflik besar dan kecil—dari Ambon hingga Aceh. Namun Papua mungkin adalah ujian terberat saat ini. Selain menangani kasus Tolikara hingga tuntas, tugas membangun Papua sebagai Tanah Damai—bagi seluruh masyarakat Papua, terlepas dari latar belakang agamanya—merupakan salah satu tugas besar Indonesia, pemerintah maupun masyarakatnya. Setiap dari kita berutang untuk memberikan sumbangan ke arah itu.
Para penulis kajian ini meminta agar masyarakat tidak memperburuk situasi dengan menjadikan kasus ini sebagai bahan provokasi. Yang diperlukan adalah arus informasi yang positif, bukan yang membakar. "Khususnya untuk kita yang berada di luar Papua, baik Muslim ataupun Kristen, klaim-klaim keagamaan yang dibangkitkan dengan menjadikan kasus Tolikara sebagai pembenaran mungkin hanya bermanfaat untuk kepentingan kelompok sendiri, bukan untuk kepentingan saudara-saudara kita di Papua," tulis kajian ini.
Setelah itu, menurut kajian ini, perlu juga desakan terhadap pemerintah untuk lebih serius berpikir—dan bertindak—mengenai Papua, dengan satu catatan penting: Papua telah kerap menjadi arena tindakan kekerasan, maka pendekatan dialogis harus diprioritaskan. Tanpa itu, sulit bagi kita untuk berbicara mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...