Peneliti FK Unair Ciptakan Insole Sepatu Penurun Gula Darah
SURABAYA, SATUHARAPAN – Berbagai jenis obat terapi diabetes, seperti terapi insulin, obat kimia berstandar maupun obat herbal berstandar terus dikembangkan, namun tampaknya obat-obatan ini belum sepenuhnya menyelesaikan masalah. Terbukti, angka penderita diabetes masih saja meningkat setiap tahun. Pasien baru terus bertambah, sementara tidak sedikit pasien lama yang berakhir pada komplikasi penyakit yang mematikan.
Dr Bambang Purwanto, dr M Kes, tak habis pikir melihat fenomena penderita diabetes di Indonesia. Meskipun Bambang bukan dokter penyakit dalam yang intens menangani pasien diabetes, namun naluri kelimuannya sebagai dokter ahli ilmu faal menggiringnya untuk ikut memikirkan persoalan penyakit satu ini.
Bambang menilai, karakteristik pengobatan yang ada sekarang tampaknya masih berfokus pada pengendalian glukosa darah saja. Sementara aspek lain belum tertangani. Hal ini diterjemahkan sebagai upaya memecahkan misteri dimana sebenarnya letak permasalahannya. Bambang kemudian berpikir perlu membuat terobosan yang dapat membantu mengoptimalkan pengobatan yang ada sekarang.
Bambang beserta tim peneliti dari Departemen Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, berinovasi menciptakan insole sepatu yang terbukti efektif menurunkan gula darah. Ketika ditemui News UNAIR pada Senin (23/10) yang dilnsir situs fk.unair.ac.id, Bambang menekankan, insole ini bukan untuk menggantikan terapi insulin, insole ini berguna untuk memaksimalkan terapi pengobatan yang ada.
“Penderita diabetes tetap harus menjalani terapi insulin. Akan lebih baik lagi jika dibarengi dengan menggunakan insole tersebut,” katanya.
Bambang mengklaim, insole buatannya terbukti mampu menurunkan kadar glukosa darah dengan cepat, membuat kadar glukosa darah menjadi lebih stabil, sehingga dapat mengurangi ketergantungan konsumsi obat diabetes.
Proses melahirkan produk insole sepatu ini tidak sederhana. Perlu waktu tujuh tahun untuk membuktikan bahwa inovasi tersebut betul-betul memberi hasil nyata.
Bambang bersama tim merintis penelitian ini sejak tahun 2010. Dari pengamatannya selama ini, pemberian terapi insulin maupun obat diabetes lainnya, memang terbukti mampu menurunkan kadar glukosa darah, namun penurunan glukosa darah melalui pemberian obat dan insulin ternyata belum cukup menjamin ketersedian energi adenosine triphospat (ATP), sebutan untuk satuan energi di dalam sel.
Sederhananya, ATP merupakan substansi kimia yang langsung bisa diubah jadi energi. Pada penderita diabetes jumlah ATP berkurang karena jumlah substrat (glukosa) yang dipakai untuk membuat ATP tidak tersedia, sehingga gagal masuk ke dalam sel. Padalah ATP sangat diperlukan untuk sintesis protein dan diubah menjadi energi. Ketersediaan ATP yang kurang menjadi persoalan besar bagi penderita diabetes.
Setelah memetakan permasalahan, berikutnya Bambang melakukan serangkaian eksperimen untuk menghasilkan cara terbaik menurunkan glukosa darah tanpa harus mengonsumsi obat. Eksperimen pertama dilakukan dengan menggunakan mencit yang dibekali aktivitas menuruni media alat dengan sudut kemiringan sebesar 10-15 derajat kemiringan lari.
“Dalam posisi menurun, otot bagian belakang tungkai akan meregang. Kondisi ini menstimulasi ambilan glukosa dan terserap secara signifikan ke dalam otot. Setelah dilakukan pengujian beberap kali, ternyata cara ini paling efektif mengurangi kadar glukosa darah,” katanya.
Setelah melalui tahap percobaan pertama, tahun 2014 Bambang melanjutkan dengan mengaplikasikan pada manusia. ”Kalau manusia diminta berjinjit, apakah mekanikanya sama dengan kondisi tikus yang juga jinjit pada saat menuruni media alat yang dicobakan sebelumnya? Ternyata tidak jauh berbeda,” katanya.
Ketika berdiri dalam posisi berjinjit, otot betis manusia mampu menahan 10 kali berat badan. Artinya kebutuhan energi yang diperlukan untuk menahan 10 kali berat badan sangat besar. Itulah alasan mengapa kemudian kadar glukosa bisa cepat turun, karena dalam berjinjit, tungkai dapat menarik energi lebih besar, sehingga membutuhkan asupan gula lebih banyak. Signal ini dibaca oleh tubuh bahwa kebutuhan energi yang besar itu membutuh gula lebih banyak. “Dari situ kami coba observasi, berarti gula darah orang dalam posisi kaki jinjit lebih cepat turun,” katanya.
Untuk meyakinkan itu, Bambang melakukan survei dan membandingkan sekelompok wanita yang gemar mengenakan sepatu jinjit (high-heels) dengan yang tidak. Ternyata yang suka pakai sepatu jinjit sering mengeluh cepat lapar. Dan ketika dihubungkan dengan data observasi sebelumnya, hasil survei tersebut berkaitan.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...