Perkebunan Sawit Picu Kenaikan Suhu Tanah di RI
JERMAN, SATUHARAPAN.COM – Berapa harga kemakmuran? Hampir saban tahun Indonesia menerima devisa lebih dari Rp 200 triliun dari perdagangan kelapa sawit. Ambisi pemerintah menjadi raksasa sawit dunia membuahkan lahan perkebunan seluas 11,7 juta hektar yang akan terus membesar. Tahun lalu saja Indonesia memproduksi 34,5 juta ton sawit, terbesar di dunia. Tapi kemakmuran tidak datang cuma-cuma.
Sebuah studi yang digalang Universitas Göttingen baru-baru ini, menemukan industri sawit memicu kenaikan suhu permukaan tanah. Berdasarkan pengamatan ilmuwan antara tahun 2000 hingga 2015 di Jambi, alihfungsi hutan membuat suhu rata-rata meningkat sebanyak 1,05 derajat Celcius, sementara suhu di kawasan hutan hanya meningkat 0,45 derajat Celcius.
Lahan gundul, bahkan tercatat 10 derajat Celcius lebih hangat ketimbang hutan. Adapun perkebunan sawit memicu kenaikan suhu antara 0,8 derajat Celcius hingga 6 derajat Celcius.
"Permukaan tanah juga menerima lebih banyak radiasi matahari dan meranggas lebih cepat," tulis ketua tim ilmuwan Clifton Sabajo.
"Efek pemanasan yang kami temukan di Jambi bisa menjadi indikasi perubahan di masa depan terhadap suhu permukaan tanah di kawasan lain di Indonesia yang mengalami alih fungsi hutan untuk perkebunan kelapa sawit," kata Sabajo.
Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, luas area hutan yang diubah menjadi perkebunan sawit mencapai 689.966 hektar dengan kapasitas produksi sebesar 1,6 juta ton/tahun.
Pemerintah Indonesia, sejauh ini bersikap sensitif terhadap kritik kepada industri sawit di tanah air. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi misalnya kerap menyebut "kampanye hitam" terhadap industri sawit nasional ketika berpergian ke Eropa. Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) bahkan menyebut ada upaya tersetruktur dan sistematis untuk menghambat produksi sawit di Indonesia.
Kenyataannya, menurut Alexander Knohl, salah seorang peneliti yang terlibat, "Suhu permukaan tanah adalah bagian penting dari iklim mikro di kawasan yang mempengaruhi kondisi habitasi untuk tanaman dan hewan."
Menurut studi tersebut, kenaikan suhu permukaan tanah turut menciptakan kelangkaan air di musim kemarau sehingga berdampak pada keragaman hayati.
"Perkembangan alih fungsi lahan di Indonesia harus pula mengevaluasi semua aspek lingkungan, dan konsekuensi sosio-ekonomi. Suhu permukaan tanah dan iklim mikro harus pula dipertimbangkan,” katanya. (dw.com)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...