Peneliti: Hukuman Mati Efektif?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kebijakan pemerintah mengenai hukuman mati di Indonesia menuai pro dan kontra di berbagai kalangan masyarakat. Banyak masyarakat, terutama masyarakat sipil, yang mempertanyakan keefektifan kebijakan tersebut. Apakah dalam hal ini benar-benar memberikan efek jera seperti yang selalu dikatakan oleh Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), dalam berbagai kesempatan ketika menanggapi kasus narkoba yang telah merupakan extraordinary crime.
Erasmus Napitupulu, peneliti di salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), ketika ditemui satuharapan.com, hari Jumat (29/4), di Jakarta, mengatakan perlunya menggarisbawahi evaluasi terhadap hukuman mati gelombang satu dan dua pada praktik dan dampaknya. Ia juga beranggapan pemerintah harus bertanggung jawab kepada masyarakat untuk menyampaikan hasilnya.
“Jaksa Agung harusnya mengevaluasi dulu hukuman mati pada gelombang sebelumnya. Pertanggungjawaban ke masyarakat juga harus, dong,” katanya.
Menurutnya, hukuman mati tidak memberi efek jera.
“Menurut kami ini tidak memberikan efek jera, tapi masyarakat kan perlu tahu. Selama ini masyarakat disuapi dengan isu bahwa hukuman mati dapat memberikan efek jera dan bisa memberikan dampak yang lebih baik tanpa diberitahu hasilnya. Pemerintah harus terbuka dan memberikan informasi tentang keefektifitasan hukuman mati gelombang satu dan dua terhadap hukuman mati gelombang tiga,” ujar Erasmus.
Koalisi Masyarakat Sipil, dikatakan oleh Erasmus, menilai masih banyak kasus di Indonesia yang unfair trial dan belum selesai di tengah-tengah perdebatan hukuman mati.
“Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) saat ini sedang memegang kasus Yusman Telaumbanua, seorang anak terpidana mati. Dari kasus yang belum selesai ini saja sudah menunjukkan unfair trial. Jika masih banyak isu unfair trial yang belum selesai, kenapa hukuman mati harus terus dilanjutkan?” kata Erasmus.
Erasmus juga menyatakan kekecewaannya terhadap pemerintahan Jokowi.
“Kemarin kita dipermalukan di dunia internasional ketika pemerintah Indonesia dengan bangganya mengatakan di forum-forum internasional telah menerapkan fair trial. Padahal, kasus Yusman gimana? Satu nyawa bukan angka, satu nyawa tetap nyawa. Fair trial kita belum beres,” ujar Erasmus.
Yusman dan Rasulah Hia divonis mati atas kasus pembunuhan berencana terhadap Kolimarinus Zega, Jimmi Trio Girsang, dan Rugun Br Haloho, pada tanggal 24 April 2012.
Keduanya kini mendekam di Lapas Batu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, setelah dipindahkan dari Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 17 Agustus 2013 bersama 20 narapidana lainnya.
Ketika vonis mati itu dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Yusman dilaporkan masih berusia 16 tahun, karena dia diketahui lahir pada tanggal 5 Agustus 1996.
Erasmus berharap isu pemberantasan narkotika tidak disalahgunakan dengan pendekatan hukuman mati.
“Jangan sampai isu pemberantasan narkotika disalahgunakan. Kalau pendekatannya dengan hukuman mati untuk menyelesaikan perkara narkotika, maka saya rasa pemerintah salah sasaran, karena tidak akan pernah efektif. Lapas sekarang dipenuhi pengguna narkoba yang setengahnya adalah terpidana narkotika, sedangkan lapas tidak memiliki anggaran rehabilitasi. Artinya, masalah kita lebih besar daripada hukuman mati,” ucap Erasmus.
Ia juga mengatakan bahwa isu hukuman pidana mati menjadikan Indonesia sorotan dunia yang berefek pada menguatnya harga dolar setelah eksekusi mati yang puncaknya pada bulan Desember 2015 ketika dolar hampir menginjak Rp 14.000.
“Negara harusnya fokus pada isu-isu yang bangkit sebagai dampak dari eksekusi mati, seperti memburuknya iklim ekonomi, Brasil yang sempat menolak perwakilan Indonesia di Brasil, dan Australia yang sempat menarik duta besarnya,” ujar Erasmus.
Sebagai informasi, istilah fair trial merupakan prinsip yang harus dipenuhi oleh para penegak hukum di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Prinsip ini tersebar di berbagai aturan baik internasional maupun nasional. Di tingkat internasional, prinsip ini disebutkan dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, sedangkan di tingkat nasional diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Beberapa jenis prinsip fair trial adalah asas praduga tak bersalah, peradilan yang bebas dan tidak memihak, hak bebas dari penyiksaan, serta jaminan perlindungan hak asasi manusia lainnya yang harus dipenuhi terhadap tersangka atau terdakwa di tingkat penyelidikan sampai putusan pengadilan.
Editor : Sotyati
Merawat Kulit Bayi Menurut Dokter
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis kulit dari Rumah Sakit Polri Said Soekanto Jakarta memba...