Penelitian: Jalan Cepat Sekali Seminggu, Turunkan Risiko Kematian
INGGRIS, SATUHARAPAN.COM – Para pakar kesehatan mengatakan, jalan cepat sekali atau dua kali seminggu dianggap sudah cukup untuk mengurangi risiko kematian akibat serangan jantung, stroke, atau kanker. Pendapat itu berdasarkan pada sebuah studi statistik, yang melibatkan hampir 90.000 orang, yang dirilis Selasa (19/3) pekan lalu, dan dilaporkan oleh kantor berita AFP.
Orang-orang yang berjalan kaki atau berkebun 10 menit hingga satu jam setiap minggunya, memiliki risiko kematian 18 persen lebih rendah dari penyebab penyakit apa pun, dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan gerak badan. Demikian seperti dilaporkan oleh para peneliti dalam jurnal kedokteran olahraga Inggris, British Journal of Sports Medicine.
Mereka mendapati gerak badan atau “aktivitas fisik sedang” selama dua setengah hingga lima jam per minggu, yang bisa dibagi menjadi segmen tidak kurang dari 10 menit sekali beraktivitas bisa menghasilkan pengurangan risiko 31 persen.
Mereka juga mendapati bahwa orang yang beraktivitas sedikitnya selama 25 jam bahkan bisa mengurangi risiko itu hampir setengahnya.
Namun, para peneliti mengakui tidak semua orang memiliki banyak waktu untuk melakukan latihan seperti itu.
Kegiatan yang memompa jantung dan mempercepat denyut nadi seperti bersepeda, lari, dan olahraga kompetitif lain “lebih menghemat waktu daripada aktivitas dengan intensitas sedang,” kata mereka. Namun, khusus untuk penyakit kardiovaskular, mereka mengatakan tidak ada manfaat tambahan yang bisa diperoleh dengan menambah waktu jalan cepat dari lima menjadi 25 jam.
Para peneliti yang dipimpin Bo Xi, profesor di Departemen Epidemiologi di Universitas Shandong di China utara, menyaring data yang dikumpulkan setiap tahun dari 88.140 orang di Amerika Serikat antara tahun 1997 dan 2008 untuk National Health Interview Survey.
Data tentang gerak badan itu kemudian dicocokkan dengan daftar kematian hingga tahun 2011.
Para penulis laporan itu mengingatkan, penelitian ini bersifat obervasi, yang berarti tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik tentang sebab dan akibat. Fakta bahwa data mengenai gerak badan itu dilaporkan sendiri oleh mereka yang tercakup dalam penelitian juga berpotensi menjadi kelemahan penelitian itu.
Namun, para periset menambahkan, besarnya jumlah orang yang dicakup dalam studi itu bisa dianggap mengimbangi keterbatasan metodologi yang mereka gunakan. (Voaindonesia.com)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...