Penetapan Awal Ramadhan Menyangkut Masalah Sains dan Agama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, menjelaskan bahwa suatu kalender yang mapan, mensyaratkan tiga hal, yaitu: adanya otoritas tunggal, jelasnya batas wilayah, serta adanya kriteria yang digunakan.
Penjelasan ini disampaikan oleh Djamaluddin seperti dikutip situs resmi Kemenag, Senin (8/7). Hari ini akan diselenggarakan sidang itsbat awal Ramadhan oleh Kementerian Agama di Jakarta. Menurut Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar, masalah penetapan awal ramadhan bukan hanya masalah sains tetapi juga masalah agama.
Menurut Djamal, kalender masehi yang sekarang kita anggap mapan, dulunya pun sama, tidak mapan. Namun demikian, lanjut Djamal, kalender masehi kemudian terus berkembang di bawah sebuah otoritas tunggalnya. “Dulu otoritas tunggalnya di tangan Julias Caesar, kemudian Paus Gregorius,” terang Djamal.
Djamal menambahkan bahwa kriteria kalender masehi juga berubah. Awalnya, kriteria Julius yang satu tahun ada 365,25 hari. Jadi setiap 4 tahun, ada tahun kabisat. “Kriteria ini kemudian berubah menjadi kriteria Gregorius di mana satu tahun ada 365,2425 hari. Jadi tiap 4 tahun ada tahun kabisat kecuali dalam 400 tahun harus dihilangkan tiga tahun kabisat,” papar Djamal.
Bagaimana dengan kalender Hijriyah? Profesor bidang Astronomi dan Astrofisika LAPAN yang juga Anggota Badan Hisab-Rukyat Kementerian Agama ini menegaskan bahwa kalender hijriyah juga sama. “Kita bisa mendapatkan kalender hijriyah yang mapan, kalau tiga hal terpenuhi: pertama, adanya otoritas tunggal; kedua, jelas batas wilayahnya, dan ketiga, ada kriterianya.
Kriteria Yang Belum Disepakati
Terkait hal ini, Wakil Menteri Agama (Wamenag), Nasaruddin Umar, menjelaskan bahwa otoritas tunggal itu ada pada Pemerintah selaku Ulil Amri. Batas wilayahnya pun jelas, yaitu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wamenag menegaskan bahwa dalam konteks pengamatan hilal, Indonesia tidak mengadopsi siapa-siapa, Arab Suadi, Mesir, atau negara Muslim lainnya. “Indonesia dengan Arab Saudi itu sangat jauh,” kata Wamenag.
“Bahkan Saudi Arabia pernah melarang, Indonesia tidak boleh ikut-ikutan kami, karena geografis Anda sangat berjauhan dengan kami. Anda berdasarkan posisi hilal Anda masing-masing,” tambah Wamenag.
Namun demikian, Wamenag mengakui bahwa persoalannya memang pada kriteria yang belum disepakati. “Posisi hilal pada penentuan awal Ramadlan tahun ini sangat krusial, karena posisinya di bawah dua derajat. Kalau pengalaman yang lalu, biasanya terjadi dua starting point di sini,” ujar Wamenag.
Dia menambahkan bahwa Pemerintah sesungguhnya sudah berupaya untuk mengkomodir seluruh perbedaan ini. Dulu Indonesia mengikuti standar international, enam derajat imkanur-rukyat. Dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia kemudian menurunkannya menjadi empat derajat agar bisa merangkul semua.
“Kebijakan ini kemudian diikuti juga oleh Asia Tenggara, seperti Malaysia, Siangapura, dan lainnya,” kata Wamenag.
Negara-negara di Asia Tenggara cenderung bersepakat dengan Indonesia. Oleh karena itu, lanjut Wamenag, ketika Indonesia menurunkan kembali kriteria imkanur-rulyat menjadi dua derajat untuk merangkul aspirasi semua pihak, negara-negara tetangga juga mengikutinya. “Dua derajat itu pun sesunggunya sangat riskan untuk diintip. Tapi itu demi mencapai persatuan pada saat itu, karena hal itu merupakan permintaan dari ormas kita,” tambah Wamenag.
Menurut Muhammadiyah
Sementara itu, Anggota Lembaga Tarjih Muhammadiyah, Agus Purwanto, menjelaskan bahwa Muhammadiyah kalau dilihat dari sejarahnya juga pernah menggunakan metode rukyat. Dalam perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah kemudian menggunakan metode hisab dengan menggunakan kriteria ijtima’ qablal ghurub. “Sepanjang konjungsi (posisi bulan di tengah antara matahari dan bumi itu berada pada satu garis astronomi) itu terjadi sebelum magrib, maka begitu masuk magrib, itu adalah tanggal baru,” terang Agus.
Agus menambahkan, sebenarnya dari sisi hisab, semuanya relatif sama. Sebab, yang mengembangkan metode hisab itu sebenarnya teman-teman astronomi juga. “Hitung-hitungannya pun sama, yang membedakan pada kriteria yang diterima bersama, dan kemudian mendefinisikan bulan baru,” terang Agus.
Mengenai perbedaan kriteria ini, Agus mengusulkan kepada Pemerintah agar juga mensosialisasikan penetapan awal Ramadlan bagi mereka yang berpegang pada metode hisab. “Tidak harus selalu menunggu hasil sidang itsbat,” kata Agus.
Terlepas dari perbedaan kriteria yang ada, Wamenag berharap proses sidang itsbat bisa berjalan dengan cepat dan lancar sehingga masyarakat tidak terlalu lama menunggu penetapan dari Pemerintah. Wamenag menegaskan bahwa kalau kita menghendaki persatuan, maka kriterianya harus ada, kemudian harus ada otoritas tunggal, dan satu lagi adalah wilayahnya. Untuk itu, Wamenag mengajak semua pihak terkait untuk hadir dalam proses sidang itsbat agar ada dialog yang konstruktif. “Biar ada dialog,” terang Wamenag.
“Shumu li ru’yati (berpuasalah kamu karena melihat hilal) itu bukan hanya persoalan sains, tapi juga persoalan agama,” kata Wamenag.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...