Pengadilan Jalanan
Kita telah menggunakan dunia maya menjadi realitas kehidupan kita.
SATUHARAPAN.COM – Media sosial ramai karena perilaku Sonya Depari, siswa SMA Methodist 1 Medan yang membentak seorang Polwan yang menghentikan konvoi perayaan mereka seusai sekolah. Adik manis ini menjadi cibiran banyak orang karena perilakunya yang kasar, sombong, dan mengancam dengan mencatut nama Arman Depari (Irjend yang bertugas sebagai Deputi Bidang Pencegahan BNN). Sehari setelah peristiwa itu, orangtua Sonya Depari meninggal dunia karena pendarahan otak.
Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari di sini. Pertama, Kita telah salah menggunakan media sosial. Kita telah menjadikan dunia maya menjadi realitas dalam hidup kita. Saya tidak yakin bahwa dalam dunia nyata kita akan mencibir Sonya Depari—dan orang lain yang pernah melakukan kesalahan—dengan cara yang sama dalam media sosial.
Kedua, Kita telah menjalankan pengadilan jalanan. Kita telah menjadi hakim yang memutuskan hukuman yang diterimanya. Bukankah Sang Polwan yang bijaksana itu mengizinkan mereka pulang karena ”mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”, walau selanjutnya kepolisian memproses perihal pencatutan nama.
Dalam narasi Injil, Yesus dijebak oleh ahli Taurat dan orang Farisi untuk melakukan pengadilan jalanan. Mereka mengarak seorang perempuan yang kedapatan berzina. Mereka menghadapkan perempuan itu kepada Yesus yang sedang mengajar di Bait Allah. Pengadilan yang sah sejatinya di pintu gerbang di mana para tua-tua Israel menjadi hakim.
Yesus tidak menjalankan pengadilan jalanan. Yesus tahu ini adalah jebakan karena Si Laki-laki—rekan perempuan itu—tidak disertakan. Sebaliknya, Yesus menarik perhatian seluruh orang—yang mendengar-Nya—kepada diri-Nya sendiri dengan cara membungkuk lalu menulis jari-Nya di tanah.
Ketika desakan untuk menjalankan pengadilan jalanan semakin kuat, Yesus berkata, ”Siapa saja di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yoh. 8:7). Lalu ia membungkuk dan menulis di tanah.
Tidak ada orang yang melempar perempuan itu. Sebaliknya semua orang pergi meninggalkan mereka. Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya, ”Hai Ibu, di manakah mereka? Tidak adakah seorang pun yang menghukum engkau?” (Yoh. 8:10).
”Tidak ada, Tuan,” jawab perempuan itu. ”Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan mulai sekarang , jangan berbuat dosa lagi,” kata Sang Guru (lih. Yoh. 8:11)
Pengadilan jalanan pun gagal. Gagal karena Sang Guru menjalankan hikmat-Nya. Kita perlu belajar dari sang Guru Hikmat dalam hidup ini. Jika kita kekurangan hikmat, marilah kita memintanya kepada Allah, yang akan memberi dengan murah hati.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...