Pengadilan yang Tidak Adil
Jangan Salibkan Yesus untuk kedua kalinya!
SATUHARAPAN.COM – Pada Jumat Agung 2017 tema yang gereja kami pilih adalah ”Pengadilan yang Tidak Adil”. Pertanyaan yang langsung melintas dalam benak adalah apakah ada pengadilan yang adil? Jawabnya: pasti ada! Saya duga ketika kita berkata, ”Pasti ada!”; sejatinya karena nurani kita menginginkan suatu pengadilan yang adil. Kita enggak rela jika ketidakadilan menimpa pada diri orang-orang yang tidak bersalah. Namanya pengadilan masak nggak adil!
Tetapi, mari kita bertanya! Berapa banyak pengadilan yang sungguh-sungguh adil itu? Ya, berapa banyak? Pasti sedikit! Bukankah ini pula keluhan berkenaan dengan semua lembaga keadilan? Betapa seringnya pengadilan—yang digambarkan dengan dewi keadilan dengan mata yang ditutup kain: itu berarti semua orang sama haknya di hadapan hukum dan tidak ada pembedaan perlakuan—ternyata malah menjadi tempat di mana ketidakadilan merajalela! Dan itu jugalah yang tampak dari kisah Jumat Agung ini!
Kisah Pilatus
Mari kita perhatikan Pilatus! Kepada orang banyak itu, Pilatus berkata, ”Aku tidak mendapati kesalahan apa pun pada-Nya. Tetapi pada kamu ada kebiasaan bahwa pada Paskah aku membebaskan seorang bagimu. Maukah kamu, supaya aku membebaskan raja orang Yahudi bagimu?” (Yoh. 18:38b-39).
Pada titik ini Pilatus menyadari bahwa Yesus tidak bersalah. Dia hendak membebaskan Yesus. Tetapi, dia tidak berani membebaskannya. Dia tidak berani mengambil risiko. Bahkan untuk membebaskan Yesus, Raja Orang Yahudi, Pilatus merasa perlu persetujuan orang orang banyak. Dan orang banyak memang tidak setuju.
Namun, toh Pilatus tak kurang akal. Dia meminta orang untuk menyesah Yesus. Agaknya dia berharap orang banyak itu akan kembali nalar budinya, dan mau mencabut tuntutannya. Dengan sengaja Pilatus mengajak orang banyak itu untuk melihat Yesus. Dan pada titik ini, bisa jadi Pilatus berharap orang banyak itu tertegun seperti dalam nubuat Yesaya: ”begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi” (Yes. 52:14). Pilatus ingin orang banyak itu merasa kasihan. Tetapi, mereka ternyata lebih memilih untuk menyalibkan Yesus.
Dan lagi-lagi, Pilatus mengajak orang banyak itu untuk berkomunikasi. Pada jam dua belas siang, Pilatus berkata kepada orang banyak itu, ”Inilah rajamu!”; yang langsung disambut teriakan: ”Enyahkan Dia! Enyahkan Dia! Salibkan Dia!” Pilatus merasa perlu konfirmasi: ”Haruskah aku menyalibkan rajamu?” Jawab imam-imam kepala: ”Kami tidak mempunyai raja selain dari pada Kaisar!”
Di sinilah titik kelemahan Pilatus. Dia mungkin merasa lebih tinggi dari orang banyak itu; juga bisa memainkan perasaan orang banyak itu, juga Yesus. Tetapi, Pilatus ternyata tidak berdaya ketika rakyat menyinggung nama Kaisar. Kaisar berkait dengan jabatan yang Pilatus sandang. Dan karena itulah, Pilatus menyerah. Penulis Injil Yohanes mencatat: ”Akhirnya Pilatus menyerahkan Yesus kepada mereka untuk disalibkan” (Yoh. 19:16a).
Makna Jumat Agung
Lalu, apa yang bisa kita pelajari! Kisah Jumat Agung pada hemat saya adalah gambaran dunia pengadilan. Lebih tepat pengadilan di dunia. Memang sulit mendapatkan keadilan di pengadilan dunia. Terutama jika hakimnya setipe dengan Pontius Pilatus.
Pertama, Pontius Pilatus tampaknya menyadari bahwa apa yang terjadi dalam pengadilan yang dipimpin olehnya memang penuh dengan ketidakadilan. Tetapi, dia sendiri tidak mempunyai ketetapan hati yang kuat untuk bertindak. Tak cukup hanya niat. Niat itu haruslah terwujud dalam tindakan.
Kedua, keadilan harus dinyatakan apa pun risikonya! Dan Pilatus tak mau mengambil risiko! Ketika nama Kaisar disebut, gentarlah dia. Ini memang masalah jabatan. Ujung-ujungnya adalah perut! Pilatus tak ingin jabatan itu diambil darinya, dan dia akhirnya kelaparan!
Kisah Jumat Agung memanggil kita untuk bersikap adil. Ketika dunia lebih suka menerapkan ketidakadilan, tentunya dengan banyak alasan, kita dipanggil untuk bertindak adil. Dan keadilan, saya suka mengutip Pramoedya Ananta Toer, ada dalam pikiran.
Mari kita bertindak adil mulai dari pikiran! Menarik disimak bahwa penulis Ibrani, dalam bacaan leksionari Jumat Agung, menyatakan: ”Aku akan menaruh hukum-Ku di dalam hati mereka dan menuliskannya dalam akal budi mereka, dan Aku tidak lagi mengingat dosa-dosa dan kesalahan mereka.” (Ibr. 10:16-17). Dalam BIMK dinyatakan: ”’Aku akan menaruh hukum-hukum-Ku ke dalam hati mereka, dan menulisnya ke dalam pikiran mereka.’ Allah juga berkata, ’Aku akan melupakan dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan mereka.’”
Ini modal kita. Allah telah menuliskan hukum-Nya dalam hati dan pikiran kita. Dengan kata lain, kita tinggal menjalankan saja. Tak mudah menjalankannya. Ada harga yang harus dibayar. Tetapi, bukankah Allah telah membersihkan diri kita! Masak kita harus mengotorinya lagi dengan berlaku tidak adil?
Perhatikan Yesus Orang Nazarat! Dia pasti menyadari bahwa Dia akan mengalami ketidakadilan. Tetapi, Dia menjalaninya juga demi menjalankan keadilan Allah. Upah dosa adalah maut. Dan Yesus menanggung upah dosa itu, agar Saudara dan saya hidup. Dia mati agar kita hidup!
Yesaya telah menubuatkannya: ”Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah” (Yes. 53:4).
Inilah keadilan Allah! Yang bersalah harus dihukum. Tetapi, karena kasih-Nya Allah sendiri menanggung hukuman itu! Inilah Injil Paskah. Dan itu hanya terjadi tatkala Yesus mau menjalani keadilan Allah ini. Pilih mana: Tuhan Yesus yang mati; atau kita yang mati!
Karena itu, mari kita hidup kudus. Kata Mami saya, "Jangan salibkan Yesus untuk yang kedua kalinya!"
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...