Pengamat: Libya Berpotensi Jadi NIIS Baru
PRETORIA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti politik dari Institute for Security Studies (ISS), Simon Allison menyatakan saat ini warga Libya kemungkinan besar akan melihat lahirnya bentuk negara baru, yakni negara Islam yang menyerupai Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Allison mengemukakan ini seperti tertuang di Daily Maverick pada Rabu (13/8) sehubungan dengan analisisnya tentang pemerintahan transisi Libya yang berbentuk Republik Parlementer sejak pemimpin Libya Muammar Khadafi meninggal pada 2011.
Allison menambahkan bahwa kemungkinan berubahnya sistem pemerintahan Libya diakibatkan karena saat ini tengah muncul fenomena NIIS. “Trend seperti ini kemungkinan saja akan tercipta di Libya, seperti saya pernah baca dari penelitian dari Konsorsium Pelacak Kegiatan Anti Terorisme (TRAC), karena saat ini Libya juga mengirimkan pejuang yang sekarang dilatih dalam pertempuran di Suriah dan Irak," kata Allison.
Parlemen Libya pada Senin (4/8) memilih Aguila Salah Issa sebagai presiden, sebelumnya dia adalah seorang pakar hukum dari kota Al-Qobba yang terletak di timur negara itu pada awal Agustus 2014 lalu.
Issa memenangkan posisi presiden mengalahkan Abu Bakr Biira. Allison mengatakan dengan terpilihnya Aguila Salah Issa merupakan fakta bahwa Libya rata-rata melakukan pergantian kepemimpinan setiap enam bulan.
Allison mengatakan saat ini seringnya pemberontakan yang dilakukan milisi Islam menjadi penyebab lebih berkuasanya kelompok Islam di Libya. Apabila terus berkuasa, maka diperkirakan akan mengubah sistem politik negara yang berbentuk Republik Parlementer sejak 2011 itu.
Allison menganalisis saat ini pertempuran dan peperangan merupakan suatu hal yang terjadi sehari-hari dan bersifat wajar di Libya karena masalah ideologi.
Allison mengutip dari sesama peneliti ISS lainnya, Solomon Ayele Dersso bahwa saat ini akan mungkin akan terjadi disintegrasi di Libya, karena tidak semua sependapat dengan Kelompok Pemberontak, Ansar Al-Sharia yang ingin menciptakan negara Islam.
Konflik Libya
Pertempuran tidak terelakkan di Libya pada Selasa (15/7) lalu, ketika serangan roket gerilyawan Anshar Al-Sharia menggempur sejumlah wilayah di negara itu, salah satunya yakni objek vital dan strategis seperti bandara di Tripoli, Libya. Serangan ini menghancurkan hampir 90 persen pesawat yang sedang parkir di area itu. Pemerintah memperkirakan serangan akibat kelompok yang bertikai.
Beberapa hari kemudian milisi Islam melanjutkan serangannya ke bandara internasional utama Libya di Tripoli, pada Minggu (20/7) serangan yang terjadi di sekitar bandara internasional dan menewaskan dua orang.
“Tidak seperti di Mesir, sebuah negara yang kekuatan militernya memiliki komando yang pasti, maka di Libya sepertinya Islam radikal berada pada posisi terkuat untuk mewujudkan tujuan mereka. Ini adalah berita buruk bagi negara yang berharap bahwa revolusi 2011 akan mengantar negara tersebut ke kebijakan yang lebih demokratis,” tutup Allison. (dailymaverick.co.za/ AFP/ wikipedia.org)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...