Pengamat: Pemilihan Hakim Konstitusi Perlu Diatur UU MK
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pengamat Hukum Tata Negara Imam Nasef dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (SIGMA) menyampaikan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi ke depan perlu diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Sebab, saat ini ketentuan mengenai hal tersebut diatur secara internal oleh masing-masing lembaga yang mengajukan calon hakim konstitusi yaitu Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana diamanatkan Pasal 20 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU 8 Tahun 2011 tentang MK.
“Ke depan, untuk memilih hakim konstitusi dibutuhkan UU MK, karena dalam prakteknya, ada indikasi peraturan internal seperti Peraturan Presiden, Peraturan MA, maupun Peraturan DPR tidak pernah dibuat oleh ketiga lembaga tersebut, sehingga seringkali prosesnya menimbulkan kontroversi di masyarakat, seperti yang terjadi pada seleksi hakim konstitusi oleh Presiden dan MA beberapa waktu lalu,” kata Imam lewat Blackberry Messenger kepada satuharapan.com, Rabu (7/1).
Dia menyampaikan empat alasan tata cara seleksi hakim konstitusi perlu diatur dalam UU MK. Pertama, untuk lebih memberikan kepastian hukum dalam proses seleksi hakim konstitusi. Dengan adanya kepastian hukum, maka memberi jaminan kepada para calon hakim kontsitusi untuk diperlakukan secara adil dalam proses seleksi.
“Kedua, agar ada keseragaman mengenai tata cara seleksi hakim konstitusi. Sebab, seleksi bertujuan untuk menguji apakah calon-calon hakim konstitusi memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam UU MK atau tidak, maka idealnya tata cara seleksi di ketiga lembaga pengusul itupun seragam,” ujar Imam.
Ketiga, lanjut dia, walaupun pemilihan hakim konstitusi itu menjadi hak prerogatif Presiden, MA, dan DPR, namun penyelenggara negara ketiga lembaga tersebut wajib tunduk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik seperti transparansi, profesionalitas, partisipasi, dan akuntabilitas.
“Tujuannya, memastikan terpenuhinya asas-asas itu, maka sebaiknya tata cara seleksi hakim konstitusi secara operasional diatur dalam level UU,” tutur Imam.
Kemudian, dia menyampaikan alasan selanjutnya adalah demi meningkatkan legitimasi publik terhadap calon hakim konstitusi terpilih. Sebab, semakin tinggi legitimasinya, maka semakin tinggi juga tingkat kepercayaan publik ke MK. Legitimasi itu akan meningkat apabila proses seleksinya mengindahkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Kata dia, saat ini telah terpilih dua orang hakim konstitusi yaitu I Dewa Gede Palguna yang diajukan Presiden dan Suhartoyo yang diajukan MA. Harus diakui proses seleksi kedua hakim konstitusi terpilih itu sempat menuai kontroversi, terutama Suhartoyo karena proses seleksi di MA terkesan sangat eksklusif, selain juga karena Suhartoyo masih dalam proses penyelidikan dugaan pelanggaran kode etik oleh Komisi Yudisial (KY), sehingga publik sangat menyayangkan ditandatanganinya Keputusan Presiden terkait pengangkatan Suhartoyo oleh Presiden Jokowi.
“Hal tersebut bisa menimbulkan masalah setelah dilantik. Kondisi demikian tentunya tidak akan terjadi kalau sejak awal ketentuan mengenai tata cara seleksinya diatur lebih jelas dalam UU MK,” kata Imam.
Editor : Bayu Probo
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...