Pengamat: Publik Sudah Baca Arah Dukungan PDIP
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kendati Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belum mengumumkan mengusung Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, sebagai cagub/cawagub DKI Jakarta pada Pilkada 2017, tetapi publik dinilai sudah bisa membaca arah dukungan PDIP.
Menurut Dosen FISIP Universitas Nasional Jakarta sekaligus pengamat politik, Ansy Lema, terdapat indikasi kuat PDIP bakal melabuhkan dukungan pada paket petahana. Terdapat beberapa fakta politik yang menguatkan sinyal politik PDIP mendukung Ahok-Djarot.
Pertama, pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, ada tiga opsi bagi partainya untuk mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada Pilkada DKI Jakarta 2017, dan opsi pertama adalah mendukung incumbent Ahok-Djarot.
Kedua, "insiden" satu mobil Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri, Presiden Joko Widodo bersama Ahok dan Hasto Kristiyanto saat menghadiri Rapimnas Partai Golkar beberapa waktu lalu.
"Pertemuan dan bincang akrab ibu Mega dan pak Ahok, juga kehadiran pak Ahok di kantor DPP PDIP pekan lalu jadi sinyal kuat bahwa paket Ahok-Djarot sudah final," kata Ansy.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan keseriusan dukungan PDIP terhadap Ahok-Djarot juga terlihat dari adanya instruksi Ketua Umum PDIP pada para kadernya agar tidak menyampaikan pernyataan-pernyataan politik yang bisa meningkatkan ketegangan politik, apalagi melontarkan pernyataan politik yang menyerang Ahok. Megawati meminta kadernya melakukan cooling down agar ‘tensi’ politik tidak makin memanas.
Menurut Ansy, persoalannya ialah pesan Megawati pada kadernya terlihat tidak sepenuhnya dipatuhi para kadernya. Masih ada kader yang melawan perintah Megawati, seperti Ketua DPP PDIP, Andreas Hugo Pareira, yang menuding Ahok sebagai politisi ‘kutu loncat’ karena suka berpindah partai. Ahok juga dituduh suka mengadu domba dan memecah belah kader PDIP.
Mencermati serangan Andreas Hugo Pareira pada Ahok, Ansy melihat ada dua kemungkinan, pertama, publik bisa menilai bahwa instruksi Megawati tidak dipatuhi kadernya. “Semacam ada ‘pembangkangan’ terhadap perintah Megawati.”
Dalam konteks ini bisa pula dibaca, Megawati gagal mendisiplinkan kadernya. Kedua, publik juga bisa curiga bahwa perintah Megawati untuk cooling down terkesan hanya sandiwara politik. Dengan tidak menegur kadernya, seolah Megawati melakukan pembiaran.
"Padahal, publik mengetahui selama ini pernyataan atau instruksi Ibu Mega selalu dipatuhi para kadernya. Mekanisme pengambilan keputusan di PDIP memungkinkan Ketua Umum menggunakan hak prerogatifnya," ujar Ansy.
Padahal, menurut Ansy, jika tidak tegas pada kader yang indisipliner pada instruksi ketua umum, PDIP bisa dianggap bersikap kontradiktif, plin-plan, dan ‘bermain dua kaki’, tetapi di satu sisi menyatakan partai memiliki mekanisme internal, padahal perintah ketua umum tidak digubris.
“Bukankah mestinya instruksi ketua umum dijalankan dan diamankan oleh kadernya, apalagi oleh PDIP yang selalu mencitrakan diri sebagai partai yang taat pada aturan main/mekanisme internal partai? Perintah Ketua Umum adalah juga bagian dari mekanisme internal yang harus dipatuhi para kader,” kata dia menambahkan.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Jorge Martin Juara MotoGP 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pembalap Prima Pramac, Jorge Martin merengkuh gelar juara MotoGP 2024, us...