Djarot Nilai Cuti Kampanye Berkepanjangan Rugikan Warga DKI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menanggapi Judicial Review (JR) yang dilayangkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), ke Mahkamah Konstitusi (MK) perihal UU Cuti Kampanye Petahana dalam Pilkada DKI 2017, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, menyatakan mendukung dan memandang bahwa cuti kampanye berkepanjangan dapat mengancam pelayanan terhadap warga DKI.
“Saya setuju saja dengan langkah Pak Ahok. Pak Ahok sebagai warga negara punya hak untuk itu, karena baru kali ini ada cuti kampanye sampai lama sekali. Menurut saya, yang akan dirugikan adalah masyarakat, karena pelayanan jadi tidak maksimal,” ujar Djarot, di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, hari Senin (22/8) siang.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dinilai merupakan area yang rawan untuk ditinggal oleh petahana saat berkampanye. “Apalagi di Pemprov DKI rawan, ada pembahasan APBD, banjir, dan lain sebagainya,” katanya.
Djarot melihat UU yang mengatur cuti petahana yang berkampanye itu karena munculnya keraguan atau semacam ketidakpercayaan apabila petahana tidak cuti selama masa kampanye maka bisa menyalahgunakan fasilitas negara untuk berkampanye. Padahal, menurut Djarot hal itu bisa dicegah dengan adanya pengawasan.
“Kalau persoalannya seperti itu kan bisa diawasi secara ketat. Kan sekarang zaman keterbukaan, apalagi Jakarta,” ucap Djarot.
Ia menceritakan semasa dirinya dahulu cuti kampanye tidaklah mengganggu kinerjanya sebagai petahana. “Kami mengalami kondisi semacam ini ketika tahun 2005 sebagai wali kota. Itu cuti cuma beberapa hari. Itu juga pada saat sudah mendaftar saya langsung pindah ke rumah kontrakan, sama seperti di sini. Jadi, cutinya hanya saat kampanye saja.”
Djarot tak bisa membayangkan efek cuti kampanye yang dimulai dari bulan Oktober hingga Februari mendatang. Pasalnya, Pilkada DKI Jakarta memiliki kemungkinan akan berlangsung sebanyak dua kali putaran. Sedangkan, jabatan gubernur DKI berakhir pada bulan Oktober 2017.
“Kemudian kalau terjadi vacuum bagaimana? Harus jelas siapa yang akan mengisi nantinya, Pjs (Pejabat Sementara) atau Plt (Pelaksana Tugas)? Kalau Pjs, tentu pejabatnya harus ada dong. Lalu harus ditanyakan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tentang boleh tidaknya dia mengambil kebijakan-kebijakan strategis. Itu harus dikaji betul,” tuturnya.
Ahok menjalani sidang perdana uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terkait aturan cuti calon petahana dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi, hari Senin (22/8).
Dalam sidang tersebut, JR akan dilakukan terhadap Pasal 70 ayat 3 dan 4 UU Pilkada.
Ahok yang hadir dalam sidang tersebut menyatakan, hanya ingin meminta penafsiran dari pasal tersebut yang terkait cuti calon petahana.
"Kami tidak minta hakim cabut pasal. Kami hanya minta penafsiran hakim, supaya pasal cuti dinyatakan bertentangan dengan UUD, apabila cuti adalah wajib," ujar Ahok.
Sebab, lanjut Ahok, jika cuti bersifat hak akan berbeda juga dalam pelaksanaanya.
"Apabila cuti sifatnya hak, artinya bisa diambil bisa juga tidak, maka kami juga minta hakim tambahkan syarat bahwa yang tidak cuti juga tidak boleh kampanye. Supaya fair karena pembuat UU memang niatnya mencegah abuse of power," katanya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Banjarmasin Gelar Festival Budaya Minangkabau
BANJARMASIN, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan memberikan dukungan p...