Pengamat: Soal Pilpres Satu Putaran, KPU Perlu Minta Fatwa MK
PURWOKERTO, SATUHARAPAN.COM - Pengamat politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Ahmad Sabiq, mengatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu meminta fatwa Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 159 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
"Menurut saya, KPU perlu segera meminta fatwa kepada MK sebagai lembaga yang otoritatif menafsirkan UU. Sebaiknya jangan membuat persepsi sendiri sebab apapun yang diputuskan KPU terkait persoalan putaran (dalam pilpres) ini nantinya akan rawan gugatan pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pilpres," katanya, di Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat (20/6).
Dia mengatakan bahwa sistem dua putaran (two round system) secara teoritis memang digunakan untuk memastikan agar kandidat yang terpilih benar-benar mendapat suara mayoritas.
"Hanya saja, para pembuat UU Pilpres waktu itu belum mengantisipasi jika kandidat yang berkompetisi hanya dua pasangan. Mestinya jika hanya dua kandidat ya tidak perlu dua putaran," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.
Mengenai kemungkinan diperlukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), dia mengatakan bahwa Perppu tidak diperlukan karena dapat menimbulkan polemik juga.
Bahkan dengan adanya Perppu, kata dia, presiden akan dianggap condong ke kanan atau ke kiri. "Sebetulnya, fatwa dari Mahkamah Konstitusi saja sudah cukup untuk menafsirkan Pasal 159 UU Pilpres tersebut," katanya.
Pendapat Ahli
Sabiq menyayangkan sikap KPU yang tidak akan meminta fatwa atau tafsir MK terkait pasal tersebut dengan alasan telah berdiskusi dengan para ahli dan mengolah masukan serta pandangan mereka yang dituangkan menjadi dua draf perbaikan peraturan KPU mengenai penetapan hasil pilpres dan pengesahan pasangan capres-cawapres terpilih.
Menurut dia, masukan atau pendapat para ahli tidak bisa disejajarkan dengan fatwa MK. "Otoritas fatwa MK tentu lebih kuat dari pendapat pakar, sebab MK adalah badan yudisial. Selain itu, pendapat pakar tidak punya kekuatan hukum," kata dia.
Sebelumnya, Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan bahwa tidak akan meminta tafsir Mahkamah Konstitusi tentang pasal ketentuan syarat pemenang pilpres yang mewajibkan satu dari dua pasangan calon memperoleh sebaran suara minimal 20 persen di lebih dari separuh jumlah provinsi.
"Terkait pendapat yang semula kami merencanakan akan membawa itu ke MK, kami (KPU) berpandangan itu tidak perlu dilakukan lagi. Kami sudah berdiskusi dengan para ahli, mengolah masukan dan pandangan mereka," kata dia, di Jakarta, Selasa (17/6).
KPU juga telah mempersiapkan dua draf perbaikan peraturan KPU terkait penetapan hasil pilpres dan pengesahan pasangan capres-cawapres terpilih setelah menerima masukan dari sejumlah pakar.
Seperti diketahui, dalam Pasal 159 ayat 1 UU Nomor 42 Tahun 2008 disebutkan bahwa pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Kemudian dalam Pasal 159 ayat 2 disebutkan bahwa dalam hal tidak ada pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pilpres.
Sementara dalam Pasal 6A UUD 1945 ayat 3 disebutkan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...