Pengamat: Tak Perlu Cabut Kewarganegaraan Aktivis ISIS
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM â Pengamat Timur Tengah, Hasibullah Satrawi berharap pemerintah tidak terlalu menanggapi usulan pencabutan kewarganegaraan aktivis dan pendukung Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Indonesia.
"Memang undang-undang kita mengatur larangan kewarganegaraan ganda. Namun, negara ISIS itu baru klaim mereka," kata Hasibullah Satrawi di Jakarta, Jumat (15/8).
Klaim tersebut, kata Hasib, belum berarti negara itu resmi menjadi negara yang diakui dunia. Itu berarti negara Islam yang diklaim ISIS itu sejatinya belum ada sehingga belum terjadi kewarganegaraan ganda.
"Suatu kelompok yang mengaku sebagai negara belum tentu diakui sebagai negara. Perlu ada pengakuan negara lain sehingga mereka bisa disebut sebagai negara. Pada saat itulah secara perundang-undangan bisa terjadi kewarganegaraan ganda," tuturnya.
Alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir itu mengatakan negara sebaiknya mengayomi mereka. Meskipun mereka anti-NKRI dan menjadi ancaman, anggap mereka sebagai "anak nakal" dalam keluarga.
"Kalau mereka melanggar hukum, tegakkan hukum. Namun, jangan sampai mengeluarkan mereka dari rahim kebangsaan Indonesia dengan mencabut kewarganegaraan mereka," katanya.
Terkait penolakan banyak pihak terhadap perkembangan dan kegiatan ISIS di Indonesia, Hasib mengatakan secara kebangsaan hal itu sangat membanggakan.
"Secara kebangsaan, kita harus bangga karena ancaman transnasional seperti ISIS disikapi oleh banyak orang. Tetapi, sikap kepada ISIS ini jangan menjadi yang terakhir," tuturnya.
Hasib mengatakan di Indonesia masih banyak kelompok yang berideologi anti-NKRI yang juga harus diwaspadai. Kelompok ini sudah cukup lama ada di Indonesia tetapi terkesan dibiarkan.
"Sebelum isu ISIS, di Indonesia sudah ada kelompok yang anti-NKRI dan mengusung kekhilafahan. Kelompok ini sudah lama ada di Indonesia dan juga rawan bagi NKRI," ucapnya.
Hasib mengatakan NKRI adalah sistem bernegara yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Para pendiri negara pun bukanlah orang-orang yang tidak mengerti agama, karena banyak ulama yang ikut andil dalam mendirikan negara ini.
"NKRI terbukti sebagai konsep ijtihad politik kebangsaan yang paling baik. Bandingkan saja dengan negara-negara di Timur Tengah. Di sana untuk mengganti satu presiden saja harus ada sekian ribu nyawa yang hilang," katanya. (Ant)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...