Pengawasan Peredaran Obat Terlarang Terhambat Payung Hukum
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengaku tidak mampu menjalankan fungsi koordinasi antarlembaga, fungsi pengawasan, dan penegakan hukum secara penuh, karena payung hukum masih lemah.
Terungkapnya kasus peredaran dan penggunaan obat ilegal di Kendari, Sulawesi Tenggara, diharapkan dapat segera menyadarkan pemerintah untuk secepatnya memperbaiki fungsi pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran obat ilegal.
Pimpinan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan, tidak mampu menjalankan fungsi koordinasi antarlembaga, fungsi pengawasan dan peran penegakan hukum secara penuh, karena payung hukumnya yang masih lemah.
"Pada saat pengawasan, dan kemudian kita temukan adanya pelanggaran, kita tidak bisa melakukan sesuatu untuk menimbulkan efek jera," kata Kepala BPOM, Penny Kusumastuti, Rabu (20/9), dilansir situs bbc.com.
Dia kemudian memberikan contoh, ketika BPOM tidak bisa menutup fasilitas pelayanan kefarmasian yang melakukan pelanggaran, seperti apotek.
"Itu izinnya bukan pada BPOM, tapi di pemerintah daerah. Jadi tidak bisa kita tutup. Kita cuma bisa merekomendasi. Rekomendasi itu mau ditindaklanjuti atau tidak, itu bukan di tangan kita," katanya.
Konsistensi Penegakan Hukum
Sementara, konsistensi penegakan hukum terhadap pelaku peredaran obat ilegal dianggap masih lemah, terbukti masih sering dijumpai sanksi hukuman yang rendah terhadap pelaku peredaran obat ilegal, kata Kahumas Badan Narkotika Nasional (BNN), Sulistiandriatmoko.
"Konsistensi terhadap penegakan hukum, karena selama ini para pelanggar UU Kesehatan masih dihukum dengan sangat ringan, sehingga mereka tidak mempunyai efek jera terhadap pelanggaran di bidang undang-undang ini," kata Sulistiandriatmoko.
BNN juga mempertanyakan masih dijumpainya obat-obatan terlarang di masyarakat, walaupun sudah dilarang sejak 2013. "Mengapa saat ini masih banyak beredar, bahkan sangat banyak sekali jumlahnya," kata Sulistiandriatmoko.
Di sisi lain, secara umum masyarakat juga belum mendapatkan informasi yang layak seputar keberadaan obat-obat ilegal dan dampaknya, apabila dikonsumsi secara berlebihan, kata pegiat konsumen kesehatan.
"Sosialisasi cuma musiman," kata Marius Widjajarta, pegiat dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia. Menurutnya, sosialisasi yang baik harus dengan menggunakan ilmu komunikasi dan mampu mengubah perubahan perilaku. "Ini tidak pernah ada. Kalau ada kasus, baru dikasih tahu. Kalau menurun, hilang lagi (sosialisasinya)," kata Marius.
Marius kemudian mengharapkan langkah sosialisasi bagian dari preventif dan promotif, ini juga dapat berjalan bersama dengan upaya kuratif dan rehabilitatif. “Ini yang menjadi kendala," katanya
Dia mengharapkan, sosialisasi ini tidak hanya ditujukan kepada orang dewasa, tetapi juga anak-anak.
Selain di kota Kendari, Sulawesi Tenggara, peredaran obat ilegal PCC (paracetamol, caffeine, carisoprodol) sudah dijumpai di Makasar dan Jayapura. Pekan lalu, kepolisian setempat telah menyita puluhan ribu tablet PCC.
Dan Selasa (19/9), aparat polisi di Surabaya telah menggerebek gudang obat PCC di sebuah rumah kontrakan di Kelurahan Mulyorejo. Temuan polisi menyebutkan ribuan tablet itu akan dikirim ke sejumlah wilayah di luar Jawa.
Dalam waktu hampir bersamaan, kepolisian di Purwokerto, Jawa Tengah, menggerebek dua ruko yang menjadi tempat produksi PCC. Mereka menemukan alat produksi dan ribuan butir PCC.
Sehari sebelumnya, aparat kepolisian menemukan empat ton serbuk yang diduga bahan baku pembuatan PCC di sebuah gudang, di Cimahi, Jawa Barat.
Tindakan kepolisian ini diawali kejadian puluhan orang di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, yang dilarikan ke rumah sakit, awal pekan lalu, karena diduga mengonsumsi PCC.
Akibat obat tersebut, seorang pemuda di kota itu dilaporkan meloncat ke laut sebelum tenggelam dan meninggal dunia.
Terungkapnya masalah ini mengejutkan masyarakat, dan temuan Badan Narkotika Nasional (BNN) menduga peredaran PCC ini menunjukkan "regenerasi pangsa pasar yang dilakukan jaringan narkoba".
"Mereka (anak-anak dan remaja) kalau masih memiliki adiksi (ketergantungan) obat-obat seperti itu (PCC), maka setelah dewasanya nanti, mereka adalah calon-calon pengguna narkoba yang sangat potensial," kata Kahumas BNN, Sulistiandriatmoko.
"Sehingga dikatakan bahwa hal itu adalah regenerasi pangsa pasar narkoba," tambahnya.
Payung Hukum yang Kuat
Lebih lanjut, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito mengatakan sudah ada upaya dari pemerintah untuk memperkuat fungsi pengawasan badan yang dipimpinnya.
Hal ini, menurutnya, ditandai lahirnya Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2017 tentang peningkatan efektivitas pengawasan obat dan makanan.
Namun demikian, lanjut Penny, keberadaan Inpres ini belum membuat peran pengawasan BPOM bisa berjalan efektif, selama belum ada Undang-Undang tentang Pengawasan Obat.
"Kita membutuhkan UU untuk penguatan dari aspek kelembagaan dari BPOM. Dengan diatur dalam UU, BPOM nanti satu level dengan badan kementerian dan lembaga," kata Penny.
"Karena kita diberi tugas untuk mengkoordinasikan kementerian dan lembaga seperti diatur dalam inpres itu," katanya.
Selain itu, apabila memiliki payung hukum berupa undang-undang, BPOM mengharapkan mampu menjalankan fungsi penyidikan, mulai penggeledahan, penyitaan dan penahanan terhadap terduga pelaku pelanggaran obat ilegal.
"Sehingga kita bisa membawanya ke pengadilan," kata Penny.
Untuk itulah, BPOM mengharapkan semua kementerian dan kelembagaan terkait memiliki pemahaman, komitmen, dan pelaksanaan yang sama dalam memerangi praktik peredaran obat-obatan ilegal.
"Aksi nasional itu dalam kaitan itu, untuk bekerja sama memberantas kejahatan ini, agar memiliki efek jera dan mampu menyudutkan, memperkecil ruang kebebasan pelaku peredaran obat ilegal," kata Penny.
Rencananya, aksi nasional pemberantasan penyalahgunaan obat akan dicanangkan dengan kementerian dan lembaga terkait pada 4 Oktober mendatang.
Marius Widjajarta, pegiat dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan, mengharapkan aksi nasional tidak berhenti sebagai peristiwa seremonial belaka.
"Kalau angin-anginan tidak ada gunanya. Mudah-mudahan tidak berhenti sebagai seremonial saja," kata Marius.
Editor : Sotyati
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...