Pengelolaan Aset BUMN Diwarnai Ketidakpastian Hukum
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ada ketidakpastian hukum dalam pengelolaan aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Undang-Undang Nomer 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara biasa ditafsirkan penegak hukum sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Nomer 19 Tahun 2003 tentang pengaturan pengelolaan BUMN. Ketidak pastian ini menempatkan BUMN di antara tarik menarik kepemilikan negara dengan swasta. Keterangan ini disampaikan Perekayasa Madya BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), Muhammad Said Didu, dalam Diskusi Publik bertema “Kekayaan Negara di Badan Usaha Milik Negara dan Badan Hukum Milik Negara (Perguruan Tinggi)” di Komisi Hukum Nasional Jakarta pada hari Rabu (24/7).
Undang-Undang Bidang Keuangan Negara mengatur permodalan dan eksistensi BUMN. BUMN secara pendirian, perubahan modal, merger, akuisisi, konsolidasi, pembubaran harus dengan Peraturan Pemerintah dan melibatkan DPR. Tetapi dalam swastanisasi BUMN juga melibatkan DPR. Undang-Undang korporasi mengatur operasional BUMN dan menjadikan BUMN sebagai persero yang dalam kegiatan usahanya tunduk pada hukum korporasi layaknya badan usaha milik swasta.
Secara status, BUMN berbadan hukum. BUMN Persero berbentuk Perseroan Terbatas yang sepenuhnya tunduk pada Undang-Undang Perguruan Tinggi. BUMN adalah perusahaan swasta, bukan perusahaan negara atau badan publik. Hukum korporasi diberlakukan atas BUMN. Dari segi kepemilikan saham, BUMN Persero berbeda dengan swasta. Dalam makna kepemilikan atas BUMN terbatas atas saham bukan aset badan usaha, dan aset badan usaha merupakan milik badan usaha itu sendiri. Pembinaan, pengawasan, pengelolaan, ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku atas BUMN lebih banyak daripada swasta sehingga pada akhirnya BUMN menjadi tidak fleksibel.
“Kekayaan negara hanya sebatas saham dan modal dalam BUMN. Perkiraan saya begini, sekarang aset BUMN sekitar 3700 trilyun. Uang disetor negara sebenarnya sejak jaman Belanda itu hanya sekitar 420 trilyun. Kalau sudah ada BUMN yang setorannya ke negara sudah menyentuh 420 trilyun. itu aset yang riil disetor oleh negara. Kalau dihitung, dividen yang dikembalikan sudah hampir 1000 trilyun. Yang 420 trilyun itu yang dianggap kekayaan negara. Yang lain itu kekayaan korporasi.” Kata Muhammad Said Didu.
“Utang BUMN tidak pernah diakui sebagai utang negara. Tetapi piutang BUMN diakui sebagai piutang negara. Itu betul-betul sangat tidak adil. Kalau anda punya piutang ke BUMN maka negara tidak menanggung. Tetapi kalau BUMN punya tagihan ke bapak dan ibu, maka BUMN bisa menagih ke bapak dan ibu. Itu lucu. Jadi kalau saya ada tagihan ke BUMN, dan BUMN-nya bangkrut, maka negara tidak mau tanggungjawab atas uang saya. Tetapi kalau bapak punya utang ke BUMN, maka polisi bisa datang ke rumah bapak untuk meminta bapak membayar. Ini ada di Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Maka Fatwa Mahkamah Agung mengatakan ini bahaya.” Lanjutnya.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN ini menyatakan pendapat Mahkamah Konsitusi sangat jelas. BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara sehingga kewenangan pengurusan kekayaan usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomer 40 Tahun 2007 yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Keputusan MK Nomer 77/PUU-IX/Tahun 2011.
Piutang BUMN setelah berlakunya Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2004 bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Piutang Bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajeman masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN.
Bank BUMN sebagai perseroan terbatas telah dipisahkan kekayaannya dari kekayaan negara dalam menjalankan segala tindakan bisnisnya termasuk manajemen dan pengurusan piutang masing-masing bank bersangkutan dilakukan manajemen bank yang bersangkutan dan tidak dilimpahkan ke PUPN.
Penyelesaian piutang macet berlaku dua aturan yaitu Undang-Undang Nomer 49 Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2004 juncto Undang-Undang BUMN dan UU PT sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Penyerahan piutang Bank BUMN ke PUPN telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitur Bank BUMN dan debitur Bank Swasta. “Ini yang saya bilang korbannya ratusan ribu orang, 75 trilyun. Banyak petani kita, pedagang, tidak bisa berhubungan dengan bank.”
Berlakunya prinsip Undang-Undang yang terbaru mengesampingkan Undang-Undang yang terlama dan peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah. Maka Undang-Undang Nomer 49 Perpu 1960 sepanjang mengenai piutang badan-badan usaha yang sudah diatur dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara dan PP Nomer 14 Tahun 2005 jo PP Nomer 36 Tahun 2006 sepanjang menunjuk pelaksanaan Undang-Undang Nomer 49 Tahun 1960 bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang umum.
“Ini sudah keluar, tetapi Direksi Bank BUMN tidak ada yang berani. Selama Undang-Undang Nomer 17 Tahun 2003 tidak berubah maka kami tidak akan memberikan jaminan hakim dan jaksa kami tidak menyidik anda. Itu clear. Tujuh puluh lima trilyun itu akan nambah terus.” Kata Muhammad Said Didu.
“Kalau 75 trilyun, itu kira-kira akan menghasilkan kredit tiga kali lipat. Kira-kira 250 trilyun kredit bisa disalurkan. Kalau itu bisa dicairkan cadangan. Itu menghambat ekonomi betul walaupun itu hanya ketakutan keputusan MK sudah ada. Sekarang, apa solusinya? Pertama, selama Undang-Undang ini berlaku, pengelolaan BUMN harus konsisten menerapkan Undang-Undang Nomer 19 Tahun 2003 sesuai dengan amanat Undang-Undang. Bukan menggunakan Undang-Undang yang bertentangan, Undang-Undang Nomer 17 Tahun 2003.”
Lanjutnya,”Kedua, mempercepat proses perubahan Undang-Undang Nomer 17 Tahun 2013 dan Undang-Undang Nomer 19 Tahun 2003 yang sudah masuk prolegnas DPR atau Pemerintah sejak lima tahun lalu dengan menggunakan semangat putusan MK Nomer 77/PUU-IX/2011, terutama yang terkait dengan keuangan dan kekayaan negara. Kenapa dua revisi ini mandeg di DPR? Karena semua berkepentingan. Kalau ini diubah, kekuasaan DPR tentang anggaran itu bisa berkurang. Kekuasaan Menteri Keuangan terhadap Bappenas juga berkurang. Sementara yang harus membahas Menteri Keuangan dan DPR. Jadi kalau tidak ada desakan publik ini tidak akan diubah karena semua menikmati kekuasaan itu. Saya pikir ini yang paling penting.”
Editor : Yan Chrisna
Lebanon Usir Pulang 70 Perwira dan Tentara ke Suriah
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Lebanon mengusir sekitar 70 perwira dan tentara Suriah pada hari Sabtu (27/1...