Penolakan Pembangunan Pura di Bekasi
BEKASI, SATUHARAPAN.COM – Rencana pembangunan pura di Desa Sukahurip, Kabupaten Bekasi, ditolak sekelompok orang dengan tudingan jumlah penganut Hindu di kampung itu sangat minim.
Namun, komunitas Hindu bersikukuh telah memenuhi seluruh syarat pendirian rumah ibadah, apalagi hingga saat ini belum ada satu pun pura di kabupaten dengan jumlah penganut Hindu sekitar 7.000 orang.
Pada sisi lain, pegiat kebebasan beragama menyebut jumlah umat tidak semestinya menjadi dasar pendirian tempat peribadatan.
Sementara itu, peneliti dari institut untuk demokrasi dan perdamaian, Setara Institute for Democracy and Peace, mendesak pemerintah untuk mengubah regulasi pembangunan rumah ibadah yang dinilai terus memicu dikotomi mayoritas-minoritas.
Penolakan pendirian pura di Desa Sukahurip terjadi akhir pekan lalu. Terlontar ucapan “jihad” dari beberapa orang pendemo di sekitar calon lahan pura.
Kepada Abraham Utama dari BBC News Indonesia, salah seorang pimpinan demo yang menyebut dirinya sebagai Haji Akbar Kamal, menuding rencana pembangunan pura itu mengada-ada.
Ia mengatakan hanya terdapat satu penganut Hindu di desa tempat pura akan didirikan.
“Sarana ibadah harus ada jemaah, minimal 90 orang. Kan di sini cuma ada satu, jadi terkesan dipaksakan, membangun rumah ibadah yang cakupannya satu kabupaten,” kata Akbar saat ditemui Rabu (8/5/2019).
Akbar mengutip syarat yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006.
Beleid itu mengharuskan pembangunan rumah ibadah disertai daftar nama 90 umat yang bakal menggunakan peribadatan. Ada juga kewajiban meraih dukungan dari 60 warga lokal.
“Kalau mereka mencukupi syarat dan transparan dengan masyarakat setempat, mungkin alasan mereka bisa kami terima,” kata Akbar.
Peninggalan Kerajaan Pertama Pasundan
Namun, beragam tudingan itu disanggah. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) mengklaim telah memenuhi seluruh persyaratan, termasuk dukungan dari warga lokal.
I Made Pande Cakra, pengurus PHDI wilayah Bekasi, justru menyebut kelompok penolak pendirian pura bukanlah warga yang tinggal di permukiman setempat.
“Semua syarat sudah terpenuhi, FKUB tinggal memverifikasi dukungan 60 orang. Kalau itu sudah selesai, rekomendasi akan keluar, lalu diajukan izin ke bupati,” kata Pande via telepon.
“Yang demo kemarin bukan warga kabupaten, tapi dari Kota Bekasi. Orang yang tidak tahu-menahu bilang warga desa tidak mendukung, padahal mendukung sekali,” ucapnya.
Sejumlah warga Sukahurip meradang saat ditanyai rencana pembangunan pura di kampung mereka, meski sebagian menganggap tak ada persoalan yang perlu didebatkan.
Baliho penolakan pembangunan pura sempat dipasang di Sukahurip, tapi diturunkan tak lama setelah rapat antara kecamatan dan kelompok kontra.
Lahan yang disiapkan komunitas Hindu di Bekasi menjadi pura berada di Desa Sukahurip, sekitar 30 kilometer dari kompleks pemerintahan kabupaten.
Lokasi ini berjarak setidaknya 19 kilometer dari Cikarang, salah satu permukiman dan wilayah perekonomian di Kabupaten Bekasi.
Lahan itu, kata Pande Cakra, dihibahkan tokoh Hindu setempat yang telah wafat, Anak Agung Oka Darmawan.
Kelompok penentang mempertanyakan niat pembangunan pura di daerah yang menurut mereka pelosok dan sulit diakses. Keraguan itu dijawab dengan klaim bahwa lokasi itu merupakan tempat sakral bagi umat Hindu.
“Tempat itu secara spiritual adalah petilasan, peninggalan kerajaan pertama Pasundan. Nilai magisnya luar biasa, cocok untuk pura kami,” kata Pande Cakra.
“Soal akses jalan, tidak sulit. Ada jalan raya, mobil bisa masuk ke sana,” tuturnya.
Merujuk data PHDI Bekasi, penganut Hindu di kabupaten itu mencapai enam sampai tujuh ribu orang. Hingga saat ini mereka tidak memiliki rumah ibadah dan beribadah di Pura Agung Tirta Bhuana yang berada di kawasan Jakasampura, Kota Bekasi.
Pura itu terletak sekitar 30-40 kilometer dari lokasi yang bakal dijadikan pura di Sukahurip.
Pande Cakra menyebut pura itu semakin sesak karena tak mampu menampung umat Hindu dari Kota dan Kabupaten Bekasi.
Pertemukan Para Pihak
Bagaimanapun izin pembangunan peribadatan semestinya tak merujuk pada umat yang bakal menggunakannya, kata peneliti Setara Institute, Halili.
Regulasi yang diterapkan pemerintah, menurut Halili, selama ini kerap memicu penolakan dan gesakan antarkomunitas agama.
“Negara seharusnya memfasilitasi, bukan membatasi. Mau dua-tiga orang umat, ya harus difasilitasi.”
“Pemerintah seharusnya mempermudah, bukan mempersulit. Revisi peraturan mutlak dilakukan,” ucapnya.
Halili berkata, pembatasan izin pendirian rumah ibadah berdasarkan jumlah umat tak sesuai dengan perlindungan hak beragama yang diatur konstitusi.
“Hak yang paling berkaitan langsung dengan beragama adalah memiliki atau mengakses tempat ibadah. Harusnya tidak perlu syarat itu, gimana orang bisa beragama kalau tidak punya tempat ibadah,” kata dia.
Namun, Juru Bicara Kementerian Agama, Mastuki, menilai permasalahan yang muncul di Bekasi tak semestinya terjadi jika para pihak duduk bersama mendiskusikan rencana pembangunan pura.
“Kalau ada pihak yang menolak, mungkin itu karena belum ada kesepahaman. Penting untuk mempertemukan pihak terkait agar tahapnya lebih maju.”
“Kalau menolak tapi syaratnya sudah ada, itu tidak produktif,” ujarnya.
Mastuki berkata, pemerintah tak pernah mempersulit pendirian peribadatan. Karena, kata dia, pemerintah daerah justru didorong memfasilitasi umat yang urung memiliki tempat persembahyangan.
“Jika suatu daerah tidak ada rumah ibadah umat, pemda perlu memfasilitasi, baik bangunan permanen atau sementara. Yang terjadi saat ini di Bekasi, karena masih ada penolakan, peribadatan bisa difasilitasi oleh pemda,” kata Mastuki. (bbc.com)
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...