“Penundaan Revisi UU KPK akan Jadi Bom Waktu”
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - "Penundaan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan batas waktu yang tidak ditentukan akan menjadi bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu," kata Surya Tjandra, Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (Unika Atma Jaya), dalam diskusi dengan tema "Quo Vadis UU KPK" di Gedung Unika Atmajaya, Jakarta, hari Senin (7/3).
Selain Surya, diskusi ini menghadirkan dua orang narasumber lainnya, yakni Alexander Marwata, Wakil Ketua KPK, dan Luky Djani, Pegiat Anti Korupsi.
Diskusi "Quo vadis KPK" yang berarti "kemana kau pergi KPK" terkait dengan inisiatif para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Revisi yang menurut para pemimpin KPK ini bisa melemahkan posisi KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, sempat terhenti pembahasannya. Namun, telah masuk menjadi agenda di DPR, yang suatu saat bisa saja dibahas kembali.
"Saya tidak tahu UU KPK akan dikemanakan nantinya. Saya juga tidak tahu penundaan revisi ini akan sampai kapan, tapi yang jelas, kami komisioner KPK, di berbagai kesempatan sudah menyatakan sikap tidak setuju mengenai revisi UU KPK, termasuk ketika diundang oleh Badan Legislatif (Baleg) kala itu," kata Alexander.
Menurut Surya, pada intinya, revisi UU KPK tidak perlu dilakukan, karena diduga justru akan diselewengkan dan justru tidak akan memperkuat posisi KPK dalam memberantas korupsi.
"Intinya memang revisi UU KPK ini sudah menjadi komoditas politik dari pihak-pihak yang berkepentingan. Pemerintah Jokowi sudah menolak, tapi hak inisiatif dan bolanya tetap dipegang oleh DPR," ujar Surya.
Draft revisi UU KPK dianggap pemimpin KPK serta masyarakat luas melemahkan KPK, karena ada beberapa hal yang seharusnya tidak disentuh sebagai aspek yang harus direvisi.
"Hal-hal tersebut antara lain pengangkatan dewan pengawas. Sebenarnya tidak masalah pengangkatan itu, tapi yang menjadi masalah adalah bahwa dewan pengawas ikut dalam kegiatan operasioanl. Kedua, dalam hal melakukan penyitaan dan penyadapan, ini tidak efektif dan bisa jadi banyak terjadi intervensi. Dewan pengawas yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mudah diintervensi," kata Alexander.
Penyidik dan penyelidik dalam draft revisi UU KPK diminta berasal dari kepolisian atau kejaksaan.
"Kami beranggapan bahwa korupsi adalah delik khusus, karena menyangkut keuangan. Menurut pengalaman saya, terkait upaya-upaya pemberantasan korupsi, alur data dan alur kejadian harusnya menjadi syarat utama, bukan keterangan saksi. Jadi, kami beranggapan, KPK seharusnya bisa mengangkat penyidik dan penyelidik independen," ujar Alexander.
Alexander menyatakan, KPK jilid empat berfokus pada Sumber Daya Alam (SDA), kehutanan, dan perpajakan. "Oleh karena itu, penyidik dan penyelidik saat ini harus juga menguasai hal-hal tersebut," ujar Alexander.
Terkait dengan pemberian Surat Pemberhentian Penyelidikan (SP3), "Kami menolak untuk diberi kewenangan mengeluarkan SP3, karena ada ketakutan bahwa kerja kami jadi tidak hati-hati lagi, dan dalam penyidikan bisa ada faktor-faktor diintervensi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab," katanya.
Untuk mengatasi perihal pemberian kewenangan SP3, dikatakan oleh Alexander, "Masih ada cara lain, seperti melimpahkan berkas ke kejaksaan," katanya.
Selain itu, revisi mengenai batas kewenangan KPK dalam penangangan perkara korupsi yang hanya boleh minimal senilai 50 milyar, Alexander mengatakan, "Itu akan sulit karena pada saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) kebanyakan nilainya tidak sampai sekian," ia menambahkan.
Mereka semua sepakat, UU KPK yang telah berusia 12 tahun memang masih banyak kekurangan, tapi ketika UU itu direvisi dan bisa memperlemah, lebih baik tidak dilakukan.
"Revisi UU KPK harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Dengan UU yang sudah ada, KPK sudah bisa melakukan yang terbaik," kata Luky.
Editor : Bayu Probo
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...