Penutupan GKSS Jemaat Pangkajene: Negara Seharusnya Melindungi Warganya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK Indonesia), menyampaikan seruan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Pemda Pangkep, pimpinan Polri dan TNI, terkait penutupan, penyegelan dan pembongkaran Gereja Kristen Sulawesi Selatan (GKSS) Jemaat Pangkajene di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan pada Rabu (4/12).
Woro Wahyuningtyas Direktur Eksekutif JKLPK Indonesia melalui siaran pers tanggal 4 Desember 2013 yang diterima satuharapan.com, mengingatkan bahwa belum genap sebulan Indonesia memperingati Hari Toleransi Internasional—seharusnya memberi semangat terhadap prinsip-prinsip penghormatan terhadap keberagaman—namun kini telah dinodai oleh upaya penutupan, penyegelan, dan pembongkaran gedung gereja GKSS di Pangkep Sulawesi Selatan.
JKLPK Indonesia menilai Negara kembali melanggar hak azasi manusia dengan melakukan kekerasan berbasis agama. Negara juga tidak melindungi warganya untuk beragama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Dengan dalih mengamankan, negara justru merampas rasa aman itu dari rakyatnya.
Upaya penutupan dan pembongkaran yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan melalui surat bernomor: 33/WASBANG-PUTR/XI/2013 tentang “pembongkaran” dan surat bernomor: 34/WASBANG-PUTR/XII/2013 menurut JKLPK Indonesia adalah bentuk arogansi dan tindakan kekerasan negara terhadap rakyatnya.
Nyata pula bahwa negara lagi-lagi kalah terhadap sekelompok orang yang berniat memaksakan kehendak serta tidak bisa menerima keberagaman sebagai anugerah, kelompok yang mementingkan penyeragaman, menolak keterbedaan, dan melakukan kekerasan terhadap kelompok yang berbeda dan minoritas.
Segala upaya yang dilakukan oleh pihak GKSS jemaat Pangkajene Klasis Mappatuwo Kabupaten Pangkep dengan memberikan penjelasan dan gambaran renovasi gedung gereja dengan surat bernomor: 35/JP.KM/GKSS/IX-2011 seakan tidak ada artinya sama sekali bagi negara. Negara menolak berdialog dengan rakyat untuk menghasilkan jalan penyelesiaan masalah secara damai.
Negara malah mengintimidasi warga gereja dengan mengeluarkan ancaman jika dalam waktu 2x24 jam gereja tidak dibongkar, maka negara akan membongar bangunan tersebut. Negara yang semestinya melindungi warganya, berbalik menjadi pihak yang menebar ketakutan dan ancaman, serta teror.
JKLPK Indonesia, sekali lagi mengingatkan fenomena arogansi dan kekerasan negara berbasis agama tidak hanya terjadi di Pangkep Sulawesi Selatan, namun juga kejadian diberbagai tempat seperti Binjai Sumatera Utara.
Terkait dengan kejadian penyegelan dan ancaman pembongkaran GKSS di Pangkep, JKLPK Indonesia menyerukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghentikan segala bentuk kekerasan berbasis suku, agama, ras, dan golongan (SARA), dengan memberikan perlindungan seluruh daerah tumpah darah Indonesia, termasuk komunitas minoritas dalam melakukan kewajiban keagamaannya.
Kepada Pemerintah Kabupaten Pangkep, JKLPK Indonesia menyerukan untuk menghentikan segala bentuk pemaksaan dan tindak kekerasan terhadap warga gereja GKSS jemaat Pangkajene Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Hal yang sama adalah seruan kepada Kepala Polri dan Panglima TNI untuk memberikan penjagaan dan perlindungan bagi seluruh warga masyarakat yang akan beribadah dan menjalankan kewajiban agamanya dengan rasa aman.
JKLPK Indonesia juga menyampaikan himbauan kepada seluruh masyarakat untuk membangun dan memperkuat solidaritas guna melawan setiap bentuk kekerasan yang dilakukan oleh siapapun dengan cara damai dan bermartabat, tanpa kekerasan.
Penutupan Gereja Pantekosta Sumedang
Pekan lalu seperti dilaporkan tempo.co, Jemaat Gereja Pantekosta Indonesia di Desa Mekargalih, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, terpaksa menghentikan sementara kegiatan ibadah mereka. Karena gereja yang sudah berdiri sejak 1987 tersebut belum mendapat izin mendirikan tempat ibadah dari pemerintah setempat.
Paroki St. Bernadette adalah gereja Katolik di bawah dekenat Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta. Paroki ini didirikan pada 11 Februari 1990 dengan ditandai pembentukan Pengurus Gereja dan Dana Papa (PGDP) Roma Katolik Paroki Santa Bernadette, Ciledug oleh Uskup Agung Jakarta, Leo Sukoto, S.J. (Alm.).
Setelah 12 tahun berjalan, tanpa ada pembicaraan atau berita sebelumnya, Sekolah Sang Timur memperoleh surat nomor: Kd.258.5/BA.00/248/2004 dari Kepala Departemen Agama Kantor Kota Tangerang, 29 Juli 2004, meminta menghentikan kegiatan keagamaan dengan menggunakan gedung sekolah.
Sebulan kemudian, tiba-tiba Ketua Pengurus Gereja dan Dana Papa (PGDP) Paroki Santa Bernadette Karang Tengah memperoleh surat dari Lurah Karang Tengah, no. 642/71-KRT/04, tanggal 30 Agustus 2004, perihal Pencabutan Rekomendasi Surat Lurah Karang Tengah No. 192/Pem/VUU/92.
Setelah pencabutan surat rekomendasi, beberapa kali ibadah diganggu dengan demonstrasi dan orasi oleh sekelompok warga yang menamakan dirinya Forum Komunikasi Umat Islam Karang Tengah yang menginginkan dihentikannya kegiatan keagamaan di BSS Sang Timur Karang Tengah Ciledug. Puncaknya pada Minggu, 3 Oktober 2004, massa yang menyebut masyarakat sekitar melakukan demonstrasi dan meminta tempat tersebut tidak lagi digunakan untuk ibadah. Mereka bahkan membangun tembok di pintu gerbang menuju sekolah itu, dan memblokir akses ke sekolah. Mereka juga mengusir umat yang sedang beribadah.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...