Penyandang Disabilitas Psikososial Masih Berakhir di Belenggu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Orang-orang yang mengalami disabilitas psikososial di Indonesia sering dipasung di pusat penyembuhan tempat mereka menghadapi kekerasan," kata Human Rights Watch, dalam sebuah laporan yang dirilis hari Minggu (20/3), seperti dikutip dari situs hrw.org.
Laporan berjudul "Hidup di Neraka: Pelecehan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia" itu hasil penelitian terhadap orang-orang dengan kondisi kesehatan disabilitas psikososial, yang sering berakhir dirantai atau dikurung di lembaga yang penuh sesak dan tidak sehat, tanpa persetujuan mereka, hanya karena stigma dan tidak adanya layanan dukungan berbasis masyarakat yang memadai.
Di pusat penyembuhan, penyandang disabilitas psikososial mengalami kekerasan fisik dan seksual, pengobatan paksa termasuk terapi kejut listrik, pengasingan, menahan diri dan kontrasepsi paksa.
"Membelenggu orang, dengan kondisi disabilitas psikososial adalah ilegal di Indonesia, namun hal itu tetap menjadi praktik luas dan brutal," kata Kriti Sharma, peneliti hak disabilitas di Human Rights Watch dan penulis laporan tersebut.
"Orang-orang disabilitas psikososial bertahun-tahun dikurung, dan di rantai di dalam gudang atau di sebuah bilik mirip kandang kambing, karena keluarga tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan, dan pemerintah tidak menawarkan alternatif yang lebih baik dan manusiawi."
Human Rights Watch mewawancarai 72 orang disabilitas psikososial termasuk anak-anak, serta anggota 10 keluarga, pengasuh, profesional kesehatan mental, kepala lembaga, pejabat pemerintah, dan pendukung hak disabilitas.
Human Rights Watch mengunjungi 16 lembaga di seluruh Pulau Jawa dan Sumatera termasuk rumah sakit jiwa, lembaga pelayanan sosial, dan pusat iman penyembuhan, dan mendokumentasikan 175 kasus di lima provinsi, orang disabilitas psikososial yang dibelenggu atau dikurung.
Berdasarkan data pemerintah yang baru, lebih dari 57.000 orang di Indonesia dengan kondisi disabilitas psikososial psikososial, telah mengalami pemasungan dan pembelengguan, atau dikurung di ruang tertutup setidaknya sekali dalam hidup mereka, dengan sekitar 18.800 orang yang ini saat dibelenggu. Meskipun pada tahun 1977 pemerintah telah melarang praktik pemasungan tersebut, keluarga, dukun, dan staf di lembaga-lembaga tersebut terus membelenggu penyandang disabilitas psikososial, kadang-kadang selama bertahun-tahun di suatu waktu.
Hidup di Neraka
Dalam satu kasus, ayah dari seorang perempuan dengan disabilitas psikososial mengatakan kepada Human Rights Watch, anak perempuannya itu dikunci di kamar karena telah menghancurkan tanaman tetangga. Setelah ayahnya bekonsultasi dengan terapisnya, orang tuanya mengikat tangannya, dan dia tinggal telanjang, makan, tidur, buang air kecil, dan buang air besar di kamar selama 15 tahun.
Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk menghapus praktik seperti itu. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial telah memulai sebuah kampanye anti-membelenggu. Kementerian Kesehatan dan Kemenbterian Sosial pun sudah membentuk tim dari pejabat pemerintah, tenaga medis, dan staf di lembaga-lembaga pemerintah yang bertugas membebaskan orang-orang dari belenggu. Namun, karena Pemerintah Indonesia begitu desentralisasi, pelaksanaan di tingkat lokal sangat lambat.
Indonesia, negara dengan jumlah rakyat hampir 250 juta jiwa, ternyata hanya memiliki 600-800 psikiater. Itu sama saja dengan hanya satu untuk setiap 300.000 hingga 400.000 orang disabilitas psikososial, dengan hanya 48 rumah sakit jiwa di provinsi yang berjumlah 34 di Indonesia.
Berdasarkan data anggaran kesehatan 2015, hanya 1,5 persen dari total anggaran pemerintah akses layanan untuk cacat psikososial. Jumlah yang sangat kurang. Pada tahun 2019, pemerintah akan meningkatkan layanan kesehatan termasuk untuk perawatan kesehatan mental.
Editor : Sotyati
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...