Penyelenggaraan Ilahi
Semua adalah karunia Tuhan.
SATUHARAPAN.COM – Betapa besar perbedaan dua kelompok orang dalam bacaan Injil Minggu ini (Mrk. 12:38-44). Penginjil Markus tidak menyebut nama. Dia, mengutip perkataan Yesus, hanya menyebut ahli-ahli Taurat dan janda miskin.
Kita tidak pernah tahu secara pasti siapa ahli Taurat yang dimaksud, juga janda miskin itu. Kelihatannya, Sang Guru dari Nazaret hendak menekankan perbedaan sikap keberagamaan manusia.
Ahli Taurat dan Janda Miskin
Kelompok pertama terlihat rajin beribadah. Namun, Yesus mengkritik mereka: ”Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat yang suka berjalan-jalan memakai jubah panjang dan suka menerima penghormatan di pasar, yang suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan di tempat terhormat dalam perjamuan...” (ay. 28-39).
Kata ”suka” yang dipakai Yesus agaknya menyiratkan bahwa Kegiatan agama itu dilakukan untuk menyenangkan diri, bahkan menjadi kegemaran rutin. Ibadah menjadi hobi, sekadar pemuas emosi belaka.
Ibadah macam begini cenderung membuat orang jauh dari realitas. Bahkan, sikap hidup hariannya bisa sangat berbeda. Tengoklah catatan selanjutnya: ”Mereka menelan rumah janda-janda...” (ay. 40).
Lebih gawat lagi, mereka menjadikan ibadah sebagai topeng untuk menutupi semua kejahatan mereka. Yesus menyatakan: ”mereka mengelabui mata orang dengan mengucapkan doa yang panjang-panjang.” (ay. 40).
Kelompok kedua—seorang janda—mempersembahkan seluruh nafkahnya kepada Tuhan. Kisahnya berkumandang hingga kini karena tindakannya unik. Begitu uniknya, hingga Yesus memujinya: ”Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” (Mrk. 12:44).
Bagi janda tersebut, ibadah bukan hobi, pengisi waktu luang, atau sekadar pemuas emosi. Bagi dia, beribadah merupakan panggilan manusia sebagai hamba Allah. Kalau tidak beribadah, malah aneh karena mengingkari keberadaan diri.
Yang dilakukannya merupakan buah penghayatan diri sebagai hamba Allah. Karena itu, dia mempersembahkan seluruh nafkahnya. Mempersembahkan berarti memberi dalam sikap hati sembah.
Mungkin ada yang mencibir perbuatan janda itu: ”Miskin, kok sombong!” Tetapi, baginya ibadah memang bukan untuk mencari pujian. Sehingga dia tidak perlu merasa terluka seandainya ada orang mencemoohnya.
Janda miskin itu melakukannya karena harus melakukannya. Dia melakukannya dengan tulus tanpa pamrih. Sekali lagi, karena dia meyakini beribadah merupakan hakikat manusia!
Janda itu berbuat demikian karena percaya apa yang ada padanya—bahkan hidupnya sendiri—merupakan merupakan karunia Tuhan. Dia sanggup mempersembahkan seluruh nafkahnya karena dia memercayai Tuhan. Dia menyerahkan diri sepenuhnya pada penyelenggaraan Ilahi.
Janda miskin itu—yang tidak kita ketahui namanya—agaknya meyakini ucapan pemazmur: ”Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya...” (Mzm. 127:1).
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...