Penyelidik PBB Dokumentasikan Pelanggaran Berat Perang Saudara Brutal di Sudan
PBB, SATUHARAPAN.COM-Sebuah tim penyelidik PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) mengatakan pada hari Selasa ( 23/7) bahwa mereka telah bertemu di Chad dengan para korban kekerasan dalam perang saudara brutal di Sudan dan telah mendokumentasikan "pola yang mengganggu" dari pelanggaran berat.
Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB yang baru-baru ini dibentuk untuk menangani situasi di Sudan mengatakan bahwa mereka telah menghabiskan waktu tiga pekan di Chad untuk bertemu dengan para penyintas konflik di Sudan, anggota masyarakat sipil Sudan, dan pengamat lainnya.
Orang-orang yang mereka ajak bicara memiliki kisah langsung yang terperinci tentang "tindakan pembunuhan yang mengerikan, kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan massal", kata tim tersebut dalam sebuah pernyataan.
"Tindakan brutal ini harus dihentikan dan para pelakunya harus diadili," kata anggota misi, Mona Rishmawi.
Misi pencari fakta, yang dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB akhir tahun lalu untuk menyelidiki dugaan pelanggaran dalam konflik tersebut, juga menjelaskan tentang "penahanan sewenang-wenang, penyiksaan (dan) penghilangan paksa".
Mereka juga mendengar tentang "penjarahan, pembakaran rumah, dan penggunaan tentara anak-anak", katanya.
Para penyelidik mengatakan bahwa banyak pelanggaran tampaknya secara khusus ditujukan terhadap para profesional seperti pengacara, pembela hak asasi manusia, guru, dan dokter. "Pemindahan paksa merupakan ciri umum."
Perang telah berkecamuk di negara Afrika timur laut tersebut selama lebih dari setahun antara militer reguler di bawah pimpinan kepala angkatan darat Abdel Fattah al-Burhan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter yang dipimpin oleh mantan wakilnya Mohammed Hamdan Daglo.
Kedua belah pihak telah dituduh melakukan kejahatan perang termasuk dengan sengaja menargetkan warga sipil, penembakan tanpa pandang bulu di daerah pemukiman, dan menghalangi bantuan kemanusiaan, karena kelaparan mengancam.
Perang yang dimulai pada April 2023 itu telah mengakibatkan puluhan ribu kematian dan memaksa lebih dari 10 juta orang mengungsi, menurut PBB. Dari jumlah tersebut, lebih dari dua juta orang telah melarikan diri melintasi perbatasan.
Lebih dari 600.000 orang telah mengungsi ke Chad.
Para pakar independen, yang tidak berbicara atas nama Perserikatan Bangsa-bangsa, menyerukan kepada masyarakat internasional untuk segera meningkatkan upaya guna mengakhiri konflik.
“Krisis ini membutuhkan dukungan dari masyarakat internasional secara keseluruhan,” kata ketua misi Mohamed Chande Othman. (AFP)
Editor : Sabar Subekti
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...