Penyintas Tragedi 1965 Menulis untuk Memulihkan Ingatan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM Kuatnya tekanan tidak menghilangkan ingatan. Tetapi dapat membuat orang kehilangan kata-kata tentang riwayat kehidupan keluarga untuk sementara. Hal ini dialami Basuki Raharjo.
Basuki Raharjo mempunyai bapak seorang anggota PETA (Pembela Tanah Air) yang kemudian menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Masyarakat pada umumnya mengenal bapaknya sebagai pejuang. Tetapi setelah peristiwa 1965, bapaknya hilang tanpa kabar.
Saya tidak tahu persis apa pun yang terjadi pada waktu itu, mendadak bapak saya tidak pulang. Kalau orang sekarang ya mungkin hilang. Di situ saya masih kecil beserta ibu saya mencari bapak yang hilang, tidak ada berita seperti sekarang. Singkat cerita, bapak saya ditahan, itu pun tanpa pemberitahuan.
Dia mengetahuinya setelah mencari keterangan perihal bapaknya di tiga instansi negara. Yaitu di tempat bapaknya bekerja sebagai Kepala Kantor Urusan Veteran, di Kodim, hingga CPM.
Keterangan yang diperoleh Basuki Raharjo waktu itu hanya menyebutkan bahwa bapak ditahan untuk sementara, tetapi ternyata ditahan sampai 13 tahun. Akibatnya, Basuki Raharjo dan keluarganya hidup terlunta-lunta dan terjerembab miskin.
Peristiwa 1965 yang dialami Basuki Raharjo ini kemudian dituangkan dalam bentuk buku Berpijak di Dunia Retak: Catatan Keluarga Penyintas Tragedi 1965. Dalam peluncuran dan diskusi buku itu di kantor Indonesia untuk Kemanusiaan (IKA) Jakarta pada Kamis (20/2), penulis menyatakan buku itu ditulis jauh dari rasa dendam, minta belas kasih, menghujat, atau pun menyalahkan siapa pun.
Sementara editor buku, Indro Suprobo, dari Nafas Pustaka menyebutkan buku itu bisa dibilang memuat ingatan membahayakan. Karena di dalamnya menggugat kesewenangan, ketidakadilan, ketidakpedulian, dan rasa aman.
Ingatan semacam ini menurut Indro Suprobo sangat dibutuhkan dalam meruntuhkan mitos dan mantra politik yang melumpuhkan sikap kritis serta melanggengkan kebohongan terkait peristiwa 1965.
Berpijak di Dunia Retak ini juga menyoroti para perempuan yang terus berupaya berjuang. Menurut Indro Suprobo para perempuan ini justru menanggung akibat dari tragedi kesewenang-wenangan dan ketidakadilan akibat peristiwa 1965. Mereka bersama anak-anaknya harus bergulat dalam banyak kesusahan dan menjaga harapan dengan terus bertahan hidup tanpa mengorbankan martabatnya.
Indro Suprobo berharap ingatan para penyintas tragedi peristiwa 1965 dan kekerasan masa lalu dapat menjadi milik banyak orang dan menjadi ingatan yang menggugat. Terkait ingatan itu tidak tempat untuk netralitas.
Editor : Bayu Probo
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...