"Perang Sapi" Membara di Tengah Kekerasan Sektarian Afrika Tengah
BANGUI, SATUHARAPAN.COM - "Perang sapi" membara di tengah konflik sektarian berdarah di Republik Afrika Tengah, dengan aksi pembantaian kawanan ternak menggunakan granat atau senapan mesin, pencurian sapi, penculikan atau pembunuhan peternak serta serangan pembalasan terhadap penduduk desa lawan.
Aksi yang menyasar hewan ternak di negara berkecamuk itu menyebabkan kerugian ekonomi langsung.
Perdagangan hewan ternak merupakan sumber pendapatan utama bagi sekitar 300 ribu orang di negara berpenduduk lima juta jiwa itu, dan memberikan kontribusi lebih dari 10 persen terhadap Produk Domestik Bruto pada era 2000-an, menurut data Organisasi Pangan Dunia PBB (Food and Agricultural Organization/FAO).
Nilai sapi membuat ternak itu menjadi sasaran alternatif penjarahan atau pembantaian oleh penjarah hampir di seluruh kawasan di utara dan barat negara itu.
Gerakan tersebut mencekik pasokan ke ibu kota, Bangui, sehingga menyebabkan lelang sapi dan rumah potong di utara kota itu ditutup.
"Data pasok ternak anjlok 77 persen dibandingkan data sebelum krisis, akibat pembantaian massal dan pencurian," kata FAO.
Kekerasan di sektor pertanian ini merupakan dampak terbaru kerusuhan menyusul penggulingan Presiden Francois Bozize pada Maret 2013 oleh pemberontak Muslim Seleka dan menggantinya dengan pemimpin mereka, Michel Djotodia.
Djotodia dipaksa turun karena gagal menghentikan bentrok sektarian antara anggota Seleka dan milisi Kristen yang dikenal sebagai anti-Balaka, dengan bentrokan berdarah yang meletus pada 2013 dan 2014 di seluruh negeri.
1.000 Petani Dibunuh
Korban utama dari kalangan manusia dalam perang sapi ini adalah peternak Mbororo-- anggota etnis Muslim Fula yang terjebak di tengah-tengah permusuhan anti-Balaka dan Seleka.
"Ketika anti-Balaka tiba di Barat, mereka menyasar Mbororo dan hewan ternaknya. Mereka menggunakan granat untuk membunuh sapi, menembakkan Kalashnikov ke arah kawanan ternak dan membantai keluarga mereka. Semua 300 sapi saya, istri saya, empat anak, lenyap," kata seorang petani, Maloum Bi Issa, yang melarikan diri ke Bangui setelah serangan itu.
"Sebelum ini, sapi ada di mana-mana di negara ini," katanya.
Menurut estimasi kelompok minoritas Fula di Bangui, sekitar sejuta sapi dibantai atau dicuri, dan sekitar 1.000 peternak dibunuh dari populasi total Mbororo yang sebanyak 40 ribu orang.
Ribuan peternak lain melarikan diri bersama ternak-ternak mereka ke negara-negara tetangga Kamerun, Chad dan Sudan.
Hasil dari konflik tersebut adalah turunnya pasokan daging sapi dan terbukanya pasar yang lapar bagi mereka yang menjual sapi curian.
"Saat ini tidak ada seorang pun di Afrika Tengah yang bisa membantah bahwa mereka telah makan daging sapi yang dijual oleh anti-Balaka," kata seorang pejabat setempat yang menolak disebutkan namanya.
"Seluruh kawasan dipasok (dengan cara itu), terutama di Bangui utara."
Beberapa pihak membenarkan perdagangan seperti itu sebagai kompensasi yang tertunda.
"Ini adalah buah dari kemenangan atas orang-orang yang membunuh orang tua kami, memerkosa ibu kami, saudara perempuan kami, istri-istri kami, dan menghancurkan harta benda kami," kata Severin Ndotiyi, bekas militan anti-Balaka yang juga dikenal dengan nama "Satan".
Tidak Ragu Menyerang
Larinya para peternak itu, bagaimanapun, mengubah cara penganiayaan. Menurut pengamatan FAO, kelompok bersenjata yang tidak lagi mencuri sapi, menyerang peternak dengan meminta uang perlindungan sebagai gantinya.
"Beberapa petani saat itu disandera oleh anti-Balaka sehingga mereka tidak akan kehilangan sumber pendapatan penting mereka," kata FAO.
"Ketika petani berhasil lari dari kawasan yang dikuasai anti-Balaka, kelompok itu tidak akan segan-segan menyerang organisasi non-pemerintah, pedagang ternak, dan warga setempat demi mencuri barang-barang mereka. Ini merupakan masalah keamanan yang nyata."
Perpindahan petani tersebut juga mengganggu pembagian lahan di kawasan penggembalaan berpindah. "Pulihnya keamanan tidak akan berarti secara otomatis peternak kembali ke kawasan sebelumnya," kata FAO.
Daging sapi merupakan komoditas yang sangat dicari di negara yang tiga perempat dari menu-menunya menggunakan daging sapi, terutama di Bangui.
Dimasak dengan santan, daun singkong, tomat atau saus "goussa", daging sapi di Republik Afrika Tengah dihidangkan dengan cara dipanggang atau ditumis, dan dimakan bersama roti atau makanan lain.
Etnis Fula juga memasak daging sapi dengan diasap supaya tahan lama.
Sebelum pecahnya kekerasan tanpa jeda pada 1990, "jumlah sapi hampir sama dengan jumlah penduduk," kata Maurice Agoumaka, mantan pegawai Federasi Nasional Peternak Afrika Tengah.
"Setiap orang biasanya mengatakan bahwa setiap orang Afrika Tengah punya sapi mereka sendiri." (AFP)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...