Perang Siber Sudah Terjadi di Ukraina
KIEV, SATUHARAPAN.COM - Serangan melalui teknologi siber (cyber) telah dilancarakan terhadap kelompok separatis Crimea, Ukraina, Kremlin dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Pertempuran di darat mungkin tidak terjadi di Ukraina, tetapi perang komputer sudah berkecamuk.
Dalam beberapa hari terakhir, dengan meningkatnya intensitas pada hari Minggu, perang di dunia maya (virtual) telah dimulai di negara-negara yang terlibat krisis diplomatik terburuk antara Timur dan Barat sejak akhir Perang Dingin berakhir tiga decade lalu.
Para "prajurit" perang ini tidak memakai seragam dan tidak selalu bersumpah setia kepada satu negara tertentu. Senjata yang mereka pilih adalah "Denial of Service" (atau ditolak atau diblok) sebagai serangan yang dirancang untuk membanjiri server web dan membuat situs web musuh tidak dapat digunakan.
Serangan dipercepat secepat bilik suara dibuka pada hari Minggu untuk referendum di Crimea tentang apakah wilayah tersebut akan bergabung dengan Rusia.
Situs yang dibuat oleh kelompok separatis untuk memantau pemungutan suara diblokir selama satu jam pada hari Minggu, dan pemerintah pro Rusia menuduh peretas (hacker) dari sebuah universitas di Amerika, Urbana - Champaign di Illinois, berada di balik serangan itu.
Beberapa jam sebelumnya, NATO, yang mendukung pemerintah Ukraina pro Barat melaporkan serangan terhadap servernya oleh hacker Ukraina menggunakan nama " CyberBerkut" yang menutup tiga dari situs tersebut.
Dalam pesan yang diposting di situs mereka sendiri, kelompok itu mengatakan akan "tidak mengizinkan kehadiran NATO di wilayah tanah air kami."
Nama kelompok itu merujuk pada "Berkut", sebuah unit polisi anti huru hara yang digunakan oleh mantan Presiden Ukraina, Viktor Yanukovych, terhadap demonstran anti pemerintah sebelum kejatuhannya bulan lalu.
Virus “Snake”
Meskipun situs tidak dapat digunakan untuk beberapa jam, juru bicara NATO, Oana Lungescu, mengatakan serangan tidak berdampak terhadap operasi.
Sedikit lebih dalam 24 jam sebelumnya, situs internet Kremlin, Rusia, kementerian luar negeri, bank sentral Rusia, dan lembaga pers, Ria Novosti, menjadi sasaran.
Mereka "menutup saluran informasi utama dari organisasi menyerang, tapi mungkin tujuan yang lebih penting adalah untuk mempermalukan organisasi-organisasi itu," kata ahli IT di Tallin, Arne Ansper .
Serangan siber (cyberattacks) tetap merupakan taktik rahasia, dengan pemerintah dan organisasi internasional menolak untuk secara terbuka mengakui penggunaannya. Baik Rusia maupun NATO telah mengaku terlibat dalam serangan cyber.
"Sangat sulit untuk mengidentifikasi penyerang," kata Ansper. "Siapa pun bisa mengklaim operasi. Hal ini bahkan lebih sulit untuk mengetahui apakah mereka bertindak sendiri, atau mereka menjalankan perintah orang lain."
Denial of Service merupakan serangan sudah menjadi bagian penting dari perjuangan di Ukraina jauh sebelum krisis meningkat di negara itu.
Menurut sebuah laporan oleh perusahaan pertahanan Inggris, BAE Systems, virus digital yang kuat telah menyusup ke komputer di Ukraina pada setidaknya 22 kali sejak 2013.
Virus itu yang dikenal sebagai "Snake" adalah "salah satu ancaman yang paling canggih dan paling gigih yang telah kami pelajari," kata laporan itu.
“Snake” pertama kali muncul pada tahun 2006, tetapi tampaknya telah disebarkan dengan cara yang lebih agresif selama beberapa bulan terakhir, dan Ukraina menjadi target utama.
BAE Systems, menduga ada kelompok yang mengorganisasi dengan baik dan secara teknis canggih, tapi tidak berspekulasi lebih lanjut tentang asal-usul serangan itu.
Para ahli mengatakan virus tidak selalu datang langsung dari pemerintah Rusia. Negara ini memiliki sarana untuk menghapus semua jejak intrusi cyber, kata Eugene Kaspersky, kepala perusahaan keamanan IT Rusia. Menurut dia, “Snake” tampak lebih seperti "virus phishing" dari senjata dunia maya. (AFP)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...