Perdebatan Soal Kata Allah, Malaysia Negara Sekuler, Bukan Islam
KUALA LUMPUR, SATUHARAPAN.COM – Masalah kata “Allah” yang dianggap sebagai eksklusif untuk umat Islam di Malaysia, dan dilarang digunakan oleh pemeluk agama lain, tetap menjadi perdebatan di Malaysia. Hal itu makin intens setelah Kantor (Jabatan) Agama Islam Selangor merazia dan mengambnil Alkitab yang menggunakan kata “Allah” di dalamnya.
Tokoh oposisi dan Ketua Partai keadilan Rakyat (PKR, Anwar Ibrahim mengatakan pekan lalu bahwa dia tidak setuju dengan razia yang dilakukan oleh Jabatan (kantor) Agama Islam Selangor (Jais) yang menyita 321 Alkitab dalam bahasa Melayu dan Iban dari Bible Society Malaysia (BSM).
Sementara itu, pakar Konstitusi Malaysia menilai bahwa larangan tersebut melanggar konstitusi yang menjamin kebebasan beragama. Sedangkan Kerajaan Malaysia merupakan negara sekuler, bukan negara Islam.
Anwar Ibrahim mengatakan, bahwa sebagai badan Islam yang berada di bawah kontrol negara secara tidak langsung, tetapi di bawah sultan, dewan pemerintah negara bagian hanya bisa menyarankan para penguasa tentang masalah tersebut.
Anwar mengatakan Pakatan Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat) pada 2010 memutuskan di mana non -Muslim bisa menggunakan kata “Allah” pada kondisi tertentu. Dia menolak kritik bahwa koalisi partainya tidak mengambil sikap atas serangan kontroversial pada awal Januari itu.
Syaratnya adalah bahwa penggunaan “Allah” tidak disalahgunakan, terutama untuk mengajak umat Islam masuk memeluk agama Kristen.
Negara Sekuler
Malaysia merupakan negara sekuler dan bukan negara Islam. Oleh itu, negara ini tidak perlu mematuhi mana-mana titah atau fatwa yang dikeluarkan Majlis Fatwa Kebangsaan, kata pakar Perlembagaan (konstitusi) Malaysia.
Sultan Kedah yang kini merupakan Yang Di-Pertuan Agong, hari Minggu (19/1) malam mengutip keputusan Majelis Fatwa Kebangsaan pada 1986, dan dia mengatakan bahwa kata “Allah” eksklusif hanya untuk umat Islam menimbulkan keraguan bagi warga bukan Islam, terkait hak beragama yang dijamin Perjanjian Malaysia tahun 1963.
“Titah dan fatwa tidak boleh digunakan kepada bukan Islam, karena hal itu melanggar hak perundang-undangan dan hak beragama mereka,” kata Edmund Bon, kepada The Malaysian Insider.
“(Warga) bukan Islam tidak boleh didakwa di Mahkamah Syariah. Jadi, fatwa Majelis Fatwa Kebangsaan tidak digunakan kepada (warga) bukan Islam,” kata dia, dan menambah bahwa fatwa hanya digunakan kepada umat Islam seperti diputuskan oleh Mahkamah federal (persekutuan) pada 2009, yang diputuskan oleh tiga hakim dalam kasus Sulaiman Takrib melawan Kerajaan Negeri Terengganu; Kerajaan Malaysia, dan kasus lain.
Panel hakim pada ketika itu terdiri dari Hakim Agung Malaya yang dijabat Tan Sri Zulkefli Ahmad Makinudin, bekas Ketua Hakim Negara, Tun Zaki Azmi dan Tun Abdul Hamid Mohamad. Mereka membuat keputusan terakhirnya, di antaranya adalah fatwa hanya digunakan kepada penganut agama Islam.
Tidak untuk Non Islam
Pengacara dari Lawyers for Liberty, Eric Paulsen, juga mengatakann bahwa tidak ada yang boleh dilakukan oleh otoritas agama itu terhadap warga bukan Islam. “Apa-apa titah yang dikeluarkan, sama seperti dari Sultan atau Yang di-Pertuan Agong, tidak digunakan kepada bukan Islam,” kata Paulsen.
“Walaupun Jabatan (Kantor) Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) atau Jabatan Agama Islam Selangor (Jais) mengeluarkan perintah, hal itu tidak menunjuk kepada bukan Islam.” Dia mengatakan terdapat beberapa kasus pengadilan yang dengan jelas menunjukkan Malaysia merupakan sebuah negara sekuler.
Islam bukanlah faktor utama yang boleh menafikan hak asasi rakyat Malaysia seperti dijamin konstitusi negara, kata Paulsen. “Rakyat Malaysia dijamin dalam kebebasan bersuara, berekspresi dan beragama. Semua ini jelas ditulis dalam Perlembagaan Persekutuan (konstitusi).”
Bahas Bersama
Dia menyampaikan komentar setelah Sultan Abdul Halim Mu’adzam Shah mengatakan bahwa sensitivitas agama dan status Islam sebagai agama resmi negara harus dihormati.
“Titah Agong merupakan nasihat. Bagaimanapun, hal itu tidak membantu, karena apa yang diperlukan untuk menyelesaikan isu “Allah” adalah perundingan di antara pihak berkepentingan,” kata Paulsen.
Dia juga mengatakan, Raja-raja Melayu, Barisan Nasional, Pakatan Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat) dan pemimpin Kristen harus duduk bersama untuk menyelesaikan isu ini secara damai.
Semua pihak berkepentingan harus membuang prasangka dan membahas untuk menyelesaikan isu ini, kata dia.
Pakar Konstitusi, Dr Abdul Aziz Bari, mengatakan, Majelis Fatwa Kebangsaan (nasional) tidak mempunyai otorita undang-undang dalam perkara berkaitan Islam, karena perkara itu merupakan urusan kerajaan (federal). “Perkara berkaitan agama Islam urusan negeri-negeri, dan Majelis Fatwa Kebangsaan tidak mempunyai status dalam konstitusi,” kata dia dalam satu pernyataan.
Alkitab Boleh Masuk Malaysia
Menteri Datuk Nancy Shukri menegaskan pada pekan lalu bahwa pemerintah Malaysia tetap berkomitmen terhada penyelesaian perkara yang diajukan negara bagian Sabah dan Sarawak yang membenarkan penganut Kristen menggunakan kata “Allah” dalam Alkitab berbahasa Melayu.
Keputusan perkara itu akan diumumkan pada April untuk menyelesaian isu tentang penggunaan kata “Allah” dalam Alkitab berbahasa Melayu yang digunakan mayoritas penganut Kristen di Malaysia Timur.
Dalam pernyataan yang diumumkan Menteri Menteri Datuk Seri Idris Jala, Alkitab dalam semua bahasa boleh dicetak atau diimport masuk ke dalam negara (Malaysia). (anwaribrahimblog.com / malaysia-today.net)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...