Perempuan: Antara Emansipasi dan Diskriminasi
SATUHARAPAN.COM – Di sekitar perayaan Hari Kartini, 21 April 2015 lalu, rakyat Indonesia disuguhi berita malangnya nasib perempuan. Pertama, dibunuhnya Deudeuh Alfisahrin alias Tata Chubby, seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan cara transaksi online oleh pelanggannya sendiri. Kedua, nenek Asyani yang didakwa dan telah divonis bersalah dengan hukuman satu tahun penjara dan tiga bulan masa percobaan plus denda 500 juta. Ini karena ia mencuri beberapa batang kayu. Kasus pembunuhan Tata dan vonis terhadap nenek Asyani tidak menjadi perhatian tulisan ini tetapi tentang kondisi buruk perempuan atau wanita di Indonesia. Mereka berdua bersama banyak wanita lain yang mengalami kasus serupa adalah korban sistem ekonomi, hukum dan sosial budaya atau peradaban.
Perjuangan Emansipasi dan Ekualitas
Idealisme dan perjuangan Kartini sudah terwujud pada banyak perempuan Indonesia. Mereka dapat menduduki jabatan-jabatan strategis seperti lurah, camat, bupati-walikota, gubernur, menteri dan anggota parlemen. Juga perempuan terlibat di banyak pekerjaan atau jabatan professional seperti di TNI dan Polri, pegawai negeri dan swasta; sopir, guru-dosen, dokter, pengacara, hakim, jaksa, rohaniwan, arsitek dan pilot. Ini karena penyediaan kesempatan pendidikan sampai jenjang tertinggi yang membekali mereka bagi pekerjaan-pekerjaan profesional itu. Ini berarti Indonesia mengakui kesamaan status, hak dan kemampuan antara laki-laki dan perempuan dalam semua aspek kehidupan masyarakat, sosial-politik, ekonomi, pendidikan dan hukum.
Walaupun begitu, tampak adanya gerakan terbalik yang berjuang untuk membuat perempuan diperlakukan secara khusus dan diskriminatif. Beberapa pusat perbelanjaan telah menyediakan tempat parkir khusus perempuan dengan tanda-tulisan “Ladies Parking”. Kebijakan Perusahaan Kereta Api yang menyediakan gerbong khusus wanita juga menunjukkan gejala ini. Juga persyaratan bagi setiap partai peserta pemilu legislatif untuk mengusulkan 30 % calon perempuan. Terakhir, negara ini mendukung diskriminasi bagi perempuan dengan adanya kementerian yang khusus mengurusi pemberdayaan perempuan.
Jadi dualisme dan standard ganda diterapkan kepada perempuan di Indonesia. Di satu sisi masyarakat dan negara mendukung emansipasi terhadap perempuan, dengan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menduduki jabatan dan pekerjaan apa pun. Juga, dengan menjadikan Kartini sebagai tokoh perjuangan emansipasi dan ekualitas atau kesetaraan antara perempuan dan laki-laki lalu menjadikan hari ulang tahunnya sebagai hari raya nasional. Namun di sisi lain, mendukung juga gerakan diskriminasi bagi perlakuan terhadap perempuan. Masih ada pemahaman bahwa perempuan itu lemah sehingga perlu dilindungi atau diberdayakan dengan kebijakan-kebijakan khusus.
Perempuan dalam Budaya dan Agama
Dalam budaya masyarakat di banyak tempat dan agama-agama, perlakuan terhadap perempuan kerap diskriminatif. Wanita dipahami sebagai makhluk lemah sehingga patut diberi perlindungan. Ia tidak perlu sekolah tinggi karena pada akhirnya toh dia akan hanya mengurusi rumah saja, menjadi ibu rumah tangga dan harus bisa kerja di dapur. Ia juga harus menjadi pendamping dan melayani suami dengan sebaik-baiknya. Peran kodratnya sebagai perempuan harus dilaksanakan, yaitu hamil dan melahirkan anak. Jika tidak dapat melakukan tugas itu, ia harus rela “dimadu” atau suaminya boleh menambah istri lagi.
Ada juga yang menganggap wanita sebagai orang yang tidak kompeten dalam berbicara di depan umum sehingga sebaiknya ia diam saja. Akibat dari pandangan tersebut wanita kerap dipersalahkan dan dituding sebagai penyebab masalah baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Tata Chubby dan umumnya PSK dipandang buruk oleh banyak kalangan. Nenek Asyani disepelekan. Ini karena mereka perempuan yang “lemah”. Berkaitan dengan pelacuran, Gubernur Jakarta, Ahok, mewacanakan lokalisasi kegiatan prostitusi di Jakarta. Dan lagi-lagi, ini adalah soal perempuan; bahwa perempuan PSK perlu dilindungi karena mereka lemah.
Pemberdayaan Perempuan
Penghargaan terhadap perempuan dan dukungan bagi emansipasi dan ekualitas antara perempuan dan laki-laki, tidak dengan membedakan mereka dalam hal harkat dan martabat hidupnya serta kebijakan porsi-porsian. Keduanya adalah ciptaan Tuhan dengan talenta atau kemampuan profesional masing-masing. Kenyataannya, tidak ada lagi pekerjaan yang membedakan mereka. Persoalannya adalah bagaimana perempuan mempersiapkan diri menghadapi segala sesuatu. Perlakuan terhadap perempuan seharusnya sama dengan ketika misalnya seorang mengikuti ujian untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM) dan ketika seorang anak diterima di Sekolah Dasar atau Perguruan Tinggi.
Yang layak dilakukan adalah memberikan kesempatan dan mendorong perempuan untuk terlibat aktif membekali diri dengan kemampuan dalam berbagai bidang kehidupan atau pekerjaan. Pendidikan, pelatihan dan pengalaman adalah cara utama. Dalam politik misalnya melalui kaderisasi dan pengalaman berorganisasi di partai. Yang umum terjadi saat ini, karena syarat 30 % calon legislatif perempuan maka siapa saja perempuan yang dianggap dapat menarik pemilih, seperti karena cantik, popular, banyak uang dan tentu bersedia, lalu dijadikan calon.
Pendidikan, pengalaman organisasi dan pengaderan di dalam partai sangat penting untuk menghasilkan perempuan-perempuan berkualitas dan tangguh di dalam berpolitik dan mampu memperjuangkan aspirasi rakyat Indonesia. Banyak perempuan yang memperlihatkan kualitas tinggi dalam pekerjaan profesional di bidangnya masing-masing. Mereka memiliki kemampuan itu bukan karena perlakuan khusus tetapi keberhasilan dalam pendidikan lalu dapat bersaing dengan laki-laki dan mendapatkan pekerjaan, karier dan jabatan yang strategis, dan dalam berbisnis, banyak yang berhasil.
Demi emansipasi dan ekualitas serta keberhasilan perempuan itu sendiri, hendaknya sistem proporsional, atau pemberian fasilitas khusus kepada perempuan dihapus, karena cara ini diskriminatif. Perempuan harus berjuang secara mandiri dan bersaing dengan laki-laki secara bebas, adil dan objektif untuk mendapatkan cita-citanya. Dan ini sudah terbukti pada diri dan keberhasilan banyak perempuan Indonesia.
Semoga idealisme Kartini era kolonial yaitu emansipasi, kesamaan hak dan perlakuan serta kesempatan berkarya, didapatkan oleh perempuan secara alamiah, sesuai dengan kemampuan mereka di era Indonesia modern ini.
Stanley R. Rambitan, Teolog-Dosen Pascasarjana UKI
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...