Monster Dingin Kekuasaan
SATUHARAPAN.COM - Saya tidak bisa membayangkan apa yang bergejolak dalam batin Mary Jane Veloso malam itu.
Delapan rekan lainnya sudah menjalani eksekusi mati lewat tengah malam. Mungkin Mary Jane dapat mendengar suara tembakan dari selnya. Lalu seorang petugas, serta Romo Kieser dari Gereja Katolik, datang menjemputnya. Apa yang menanti sudah jelas: nyawanya akan berakhir malam ini di hadapan regu tembak, di sebuah negeri asing. Boleh jadi ia hanya dapat membayangkan sekilas wajah kedua anaknya.
Tetapi, ternyata, itu bukan akhir cerita hidupnya. Di tengah perjalanan menuju lokasi eksekusi -- saya memakai kronologi yang diedarkan Mgr. I. Suharyo, Pr., Uskup Agung Jakarta , lewat media sosial -- tiba-tiba berita itu datang dari Jakarta: eksekusi mati Mary Jane dibatalkan! Saya membayangkan ia terbelalak bingung, dan berusaha memperoleh kepastian berita itu. Malam itu ternyata bukanlah malam terakhir dalam kehidupannya.
Drama dini hari lalu (29/04) itu memang sungguh menyedot perhatian dan emosi publik. Karenanya tidak mengherankan, ketika penundaan eksekusi itu sudah dikonfirmasi, ada luapan emosi kegembiraan yang membanjir keluar. Sebagian teman mensyukurinya dan menyebutnya sebagai bukti "mukjizat Tuhan", atau bahwa "Tuhan tidak tidur"; sementara sebagian lainnya memuji-muji bahwa "Presiden Jokowi masih punya nurani".
Menurut saya, mensyukuri penundaan eksekusi terhadap Mary Jane memang sudah sepatutnya. Setiap nyawa yang dapat diselamatkan layak disyukuri. Tetapi menyebutnya sebagai bukti "mukjizat Tuhan" atau bukti "Tuhan tidak tidur", rasanya sungguh berlebihan. Sebab, jika benar "bukti" tadi, apakah itu berarti Tuhan tertidur saat delapan terpidana mati lainnya dieksekusi, sehingga lupa melakukan mukjizat-Nya? Jika benar Tuhan tidak tidur dan mampu melakukan mukjizat, mengapa hanya untuk Mary Jane seorang diri?
Pola argumen yang sama juga dapat diterapkan untuk menyangkal pendakuan, bahwa penundaan eksekusi itu membuktikan "Presiden Jokowi masih punya nurani". Saya kira, soal penundaan ini, sama seperti semua bentuk pelaksanaan kekuasaan, tidak ada hubungannya dengan soal nurani. Memang, harus diakui, kasus Mary Jane, lebih dari kasus hukuman mati lainnya di Indonesia, merupakan pukulan telak pada nurani kemanusiaan: publik sangat yakin ia adalah korban, bukan pelaku, sehingga menghukum mati Mary Jane adalah tindak kejahatan moral yang tak terampuni. Pertama, karena hukuman mati itu sendiri sudah cacat secara moral; dan, kedua, cacat moral itu bertambah karena justru jatuh pada korban, bukan pelaku!
Tetapi saya tidak yakin, pertimbangan moral itu yang melandasi keputusan penundaan eksekusi mati Mary Jane. Saya kira alasannya jauh lebih praktis: ada novum baru, ketika Selasa (28/04) lalu Maria Kristina Sergio, perempuan yang diduga merekrut dan menjebak Mary Jane, menyerahkan diri pada kepolisian Cabanatuan, Filipina, sehingga membuka kemungkinan pemeriksaan ulang. Itu sebabnya, konon, Presiden Filipina Benigno Aquino III menghubungi Presiden Joko Widodo meminta penundaan eksekusi, karena kesaksian Mary Jane juga dibutuhkan dalam proses pemeriksaan Maria Kristina.
Apakah nurani punya andil di sini? Saya tidak tahu persis. Tetapi, rasanya, dalam setiap pelaksanaan kekuasaan, nurani kerap tidak pernah menjadi dasar pertimbangan. Karena kekuasaan itu, seperti kata Nietzsche, bak monster yang dingin. Tak percaya? Tanyakan pada delapan orang yang menjemput ajal di depan regu tembak...
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litbang-PGI
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...