Loading...
DUNIA
Penulis: Wiwin Wirwidya Hendra 14:33 WIB | Selasa, 04 Juni 2013

Perempuan Bergaun Merah Memicu Demonstrasi Besar di Turki

Tindakan kasar oknum kepolisian yang dilakukan kepada perempuan bergaun merah yang sedang berdemonstrasi di Turki. (dok. reuters)

ISTANBUL, SATUHARAPAN.COM – Dalam gaun katun merah musim panas, kalung, dan tas putih tersandang di bahunya perempuan itu ditembak gas air mata oleh polisi antihuru-hara. Rambut panjangnya menghambur ke atas, perempuan itu belum sempat membungkuk ketika polisi menembaknya. Mungkin dia telah terlempar melintasi halaman. Demikian rilis kantor berita Reuters memberitakan pada Selasa, (4/6).

Kejadian itu tersebar di media sosial tanpa henti dan digandakan menjadi kartun di poster dan stiker. Gambar perempuan berbaju merah menjadi motif utama para demonstran perempuan selama hari-hari demonstrasi antipemerintah di Istanbul yang diwarnai kekerasan.

"Foto itu membuktikan esensi dari protes ini," kata Esra, mahasiswa matematika di Besiktas, dekat selat Bosphorus, yang menjadi salah satu pusat aksi protes minggu ini. "Kekerasan yang dilakukan polisi terhadap demonstran yang sebenarnya berperilaku damai, demonstran yang hanya berusaha untuk melindungi diri mereka sendiri dan nilai-nilai yang mereka yakini."

Amerika Serikat dan Uni Eropa serta kelompok hak asasi manusia telah menyatakan keprihatinan tentang tindakan keras polisi Turki terhadap para demonstran.

Perdana Menteri Tayyip Erdogan mencap para pengunjuk rasa pada hari Senin sebagai pasukan ekstrimis yang hidup bergandengan dengan terorisme, upaya yang tampaknya untuk menggambarkan keburukan perempuan bergaun merah.

Ada orang lain mengenakan perlengkapan yang lebih agresif dan penutup wajah yang dipakai dalam olahraga ketika mereka melemparkan batu, tetapi sejumlah besar perempuan yang sangat muda di Besiktas dan Lapangan Taksim Square tempat protes dimulai pada hari Jumat malam (31/5).

Dengan kacamata renang dan masker tipis antigas air mata, syal berumbai lampu menggantung di leher mereka, Esra, Hasine dan Secil berdiri gelisah di distrik Besiktas pada hari Senin malam (3/6), bergabung dengan sejumlah pemuda yang pernah berkembang ketika jaman yang lebih suram tiba .

Mereka pemudi yang mungkin seperti halnya perempuan bergaun merah yang percaya bahwa mereka telah kehilangan sesuatu di Turki jaman Erdogan. Mereka merasa terancam dengan promosi jilbab, lambang kesalehan perempuan.

Karier

Banyak perempuan menuding hukum baru mengenai aborsi, menyarankan perempuan Turki untuk masing-masing memiliki tiga anak, sebagai tanda Erdogan ingin memundurkan kembali hak-hak perempuan dan mendorong mereka menjadi tradisional, dalam peran saleh.

"Saya menghormati perempuan berjilbab adalah hak mereka, tetapi Ä° saya juga ingin hak saya dilindungi," kata Esra. "Aku bukan orang kiri atau anti kapitalis. Aku ingin menjadi seorang perempuan yang ber bisnis dan tinggal di Turki yang bebas."

Mustafa Kemal Ataturk, pendiri republik sekuler yang dibentuk pada tahun 1923 dari reruntuhan Kekaisaran Ottoman, mendorong perempuan mengenakan pakaian Barat ketimbang jilbab dan mempromosikan gambaran perempuan profesional. Ironisnya, Erdogan terlihat hari ini karena lebih baik atau lebih buruk, menjadi pemimpin Turki paling dominan sejak Ataturk.

Erdogan, pria yang menyangkal ambisi kaum Islamis untuk Turki, menolak kesan apapun bahwa dia ingin membujuk orang kepada kepatuhan religius. Dia mengatakan Undang-undang mengenai alkohol yang baru juga dikecam para perempuan telah disahkan dengan alasan untuk melindungi kesehatan bukan atas dasar agama.

"Erdogan mengatakan 50 persen orang memilih dia. Aku di sini untuk menunjukkan bahwa aku milik yang lain 50 persen, setengah dari masyarakat yang tidak menunjukkan rasa hormat kepadanya dia coba hancurkan," kata mahasiswa jurusan kimia, Hasine.

Erdogan pertama kali meraih kekuasaan pada tahun 2002 dan tetap tak tertandingi dalam popularitas, menggambarkan dukungan kuat untuknya di jantung konservatif Anatolia.

Demonstrasi-demonstrasi yang terjadi akhir pekan ini di belasan kota mengesankan popularitasnya yang mungkin berkurang, setidaknya di antara kelas menengah yang berdiri di belakangnya pada tahun-tahun awal reformasi politik dan ekonomi yang mengurangi kekuatan tentara dan memperkenalkan beberapa perubahan hak.

"Saya ingin memiliki masa depan di sini, di Turki, seperti karier dan kebebasan untuk hidup saya. Tetapi semua ini berada di bawah ancaman. Aku ingin

Para demonstran yang datang lebih siap daripada saat kerusuhan pertama. Beberapa memakai helm, berpakaian serba hitam, sebagian juga bahkan mengenakan sepatu lari. Tapi banyak yang berpakaian feminin seperti perempuan bergaun merah yang membuat heboh di Lapangan Taksim.

"Tentu saja saya gugup dan saya tahu saya berada dalam situasi bahaya di sini. Tapi bagi saya itu tidak seberapa dibandingkan dengan bahaya kehilangan Republik Turki, kebebasan dan semangatnya," kata Busra, mahasiswa ekonomi berusia 23 tahun yang mengatakan bahwa orangtuanya mendukung protesnya.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home