Perempuan dan Kursi
SATUHARAPAN.COM – Desy Ratnasari, Rachel Maryam, Venna Melinda, Okky Asokawati, Rieke Diah Pitaloka adalah mantan-mantan artis perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR 2014-2019, di antara 88 perempuan atau 15% dari jumlah keseluruhan anggota DPR. Jumlah ini turun dibandingkan dengan periode lalu dengan 103 perempuan (18%). Mengapa penurunan ini justru terjadi ketika calon tetap perempuan justru naik menjadi 37%? Apa yang menjadikan begitu sulit untuk perempuan untuk menjadi anggota legislatif dan secara umum berpartispasi dalam kebijakan publik?
Negara ini telah memiliki menteri pemberdayaan perempuan sejak 1983, dan setiap kali hanya berganti nama tanpa memberikan perubahan signifikan bagi perempuan di ranah politik. Orde baru telah menghanguskan apa yang dirintis oleh gerakan perempuan sejak pra kemedekaan.
Pada tahun 1945, Indonesia memiliki Partai Wanita Rakyat yang didirikan oleh Ibu Sri Mangunsarkoro, meskipun gagal memperoleh kursi pada Pemilu 1955. Namun demikian gerakan perempuan masa itu memiliki nyalanya tersendiri terutama memperjuangkan monogami. Kemudian Gerwani muncul dan beranggota 1.750.000 tahun 1964, menjadi gerakan perempuan yang sangat politis dengan reformasi agraria, pemberantasan buta huruf, pembebasan Irian Barat, hak buruh perempuan dan sebagainya. Salah satu nenek saya menjadi sukarelawati, pada tahun 1963, berangkat ke Papua. Saat itu perjalanan dengan kapal masih memakan waktu berbulan-bulan. Misinya, adalah pemberantasan buta huruf dan pemberdayaan perempuan. Tentu saja tanpa menduga bahwa ia selanjutnya akan mengalami penyiksaan dan sepuluh tahun penjara di Plantungan Jawa Tengah, akibat berbakti pada perempuan sebangsa dan setanah airnya.
Propaganda kebencian terhadap komunisme yang diwujudkan dengan penggambaran perempuan-perempuan Gerwani yang menyiksa para jendral mempunyai dua sisi tajam. Di satu sisi masyarakat (laki-laki) memiliki pandangan amoral terhadap perempuan yang berpolitik dan pada perempuan, mengimunisasi keinginan mereka untuk berpolitik dengan melihat bagaimana perempuan-perempuan gerwani atau yang berani berorganisasi dan berpolitik, disiksa, dibunuh dan dipenjarakan. Dan mereka pun dilenyapkan dan disenyapkan oleh orde baru. Ketakutan akut dan laten ini diturunkan kepada anak dan cucu perempuan, dan hanya sedikit yang terhindar dari wabah ini.
Beberapa partai politik saat ini telah melakukan pengkaderan perempuan yang cukup sistematis dalam tubuh partai, melalui sayap-sayap organisasi perempuan. Pada masa orde baru, perempuan seperti tidak bisa terlepas dari dharma wanita dan PKK. Namun seberapapun keterlibatan dan kepiawaian mereka dalam berpolitik di organisasi ini, posisinya hanya akan bergantung pada siapa yang dinikahinya dan apa posisinya dalam hierarki pemerintahan. Kini, jika kita melihat misalnya keterwakilan perempuan dalam dewan pimpinan partai saja, angka 30% itu sama sekali tidak tercapai. Pertanyaan berikutnya, apakah perempuan ini sudah berada di luar posisi tradisionalnya sebagai sekretaris dan penanggung jawab divisi perempuan? Maka dari awal patut dipertanyakan komitmen partai terhadap keterwakilan perempuan.
Atau perempuan dalam partai akan terkait dengan budaya nepotisme dalam partai, meskipun pengurus laki-laki juga banyak yang terkait pengkaderannya secara kekeluargaan, pertemanan dan kedekatan afiliasi organisasi. Kita mencatat diantaranya nama Siti Hediyati Suharto, Puan Maharani, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang terpilih kali ini serta menjelaskan fenomena kekeluargaan dalam partai, belum lagi yang terjadi di daerah, di mana istri pejabat yang duduk di DPRD menjadi biasa.
Realitas patriarki di tingkat individu dan masyarakat juga menjadi kendala lain bagi perempuan yang secara sadar ingin berpolitik. Banyak perempuan mengurungkan niatnya untuk mendaftar menjadi balon karena tidak disetujui oleh keluarganya, dengan alasan kotornya politik atau besarnya pengorbanan keluarga yang harus diberikan untuk merelakan perempuan berpolitik, termasuk secara materi. Meskipun tidak dipungkiri bahwa caleg perempuan juga dapat diduga melakukan politik uang. Pemilih perempuan yang cenderung apolitis akan memilih nama yang dikenal lewat televisi atau terjerat serangan fajar.
Perempuan sepertinya hanya dijadikan prasyarat terpenuhinya minimal 30% caleg perempuan. Partai bahkan tidak mempersiapkan calegnya untuk mengerti ideologi partai, apalagi kepada caleg perempuan yang bukan kader tapi lebih dipilih karena popularitasnya atau kedekatan keluarga.
Fenomena Jokowi sebenarnya memberikan harapan, ketika perempuan sama terpanggilnya untuk menjadi relawan dan diskusi politik tiba-tiba juga menjadi trending topik di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Perlawanan terhadap sistem yang korup sebenarnya juga banyak muncul dari inisiatif perempuan. Ingat kasus Prita dan gerakan jarik untuk melawan kekerasan terhadap anak. Kelompok kecil memang mulai muncul, misalnya dengan berbagai petisi online seperti change.org atau gerakan-gerakan non politis praktis seperti gerakan lingkungan. Dengan luasnya akses informasi dari genggaman tangan dimulai dari kata-kata di media sosial, perempuan terlibat dalam dunia nyata, dengan terbata-bata.
Manusia sebagai makhluk sosial sebenarnya menemukan indikasi kesejahteraan atau kebahagiaannya dengan aktivitas di mana ia terlibat dalam komunitas, dengan melakukan dengan sukarela gerakan yang diyakininya. Dalam masyarakat tradisional Indonesia, hal ini sangat jelas dalam kegiatan masyarakat adat yang kemudian tereduksi dalam kegiataan keagamaan. Aktivitas ini memuaskan kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain sekaligus memperkaya proses pengembangan diri yang menambah rasa kompetensi dan rasa ‘berbuat sesuatu yang berharga’. Manusia Indonesia yang semakin urban dan kehilangan aktivitas lokal nya lalu menemukan identitasnya kembali dalam jaringan sosial lewat sosial media berdasarkan pilihannya masing-masing. Namun secara politis, kebuntuan tetap tidak menemukan penyembuhannya apalagi dengan kekecewaan terhadap partai politik dan pilkada yang hanya menumbuhkan koruptor baru.
Revolusi mental dan kesejahteraan masyarakat yang berciri meningkatnya partisipasi publik (baca perempuan) sebenarnya telah dimulai. Gerakan budaya yang memimpikan perubahan hidup namun bukan sekedar mencari kekuasaan, melainkan mengekspresikan ketidakadilan dan merayakan emansipasi individu, salah satunya terwujud dengan menolak transmisi otoriter dari nilai-nilai lama. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana melanjutkannya menuju transformasi struktural dalam relasi produksi, relasi kekuasaan dan relasi antar individu. Apakah partisipasi yang terjadi tidak sekedar mereproduksi wacana yang ada dengan bungkus dan merk yang berbeda-beda? Adakah produksi konten baru sebagai hasil blusukan diri atas pengalaman sebagai warga negara? Ataukah kita sekedar meng klik dan membagi atau me re ‘tweet’ status? Apakah ada revolusi mental pasca pemilihan presiden?
Bagaimana kita mengawal ketertarikan perempuan pada poltik, yang dimulai hanya dari kekaguman pada Jokowi atau kegantengan Hamdan Zoelva, menjadi satu modal sosial dan menumbuhkan partisipasi politik yang nyata pasca pilpres? Setidaknya beberapa LSM dan ormas perempuan telah membawa agenda politik perempuan Indonesia telah diterima Jokowi tanggal 29 Agustus 2014, salah satunya memperjuangkan minimal 30% persen perempuan dalam posisi pengambil kebijakan publik. Ini hanya akan berhasil jika perempuan sendiri juga merelakan dirinya mencoba keluar dari zona nyamannya dalam rumah dan dimulai dengan mengajukan dirinya, misalnya dalam pemilihan ketua RT/RW, Kepala Desa, menjadi anggota partai, musywarah desa dan posisi politik lokal lainnya.
Atau mungkin kita masih hidup di Athena abad III SM, ketika Aristoteles menyatakan bahwa perempuan bukan warganegara dan tidak berpartisipasi dalam politik. Jadi, meskipun manusia, perempuan tersubordinasi dan lebih rendah.
Penulis adalah penyair dan penerjemah
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...