Pernikahan Beda Agama: Mengapa Bermasalah?
SATUHARAPAN.COM – Pro-kontra pernikahan beda agama kembali mencuat setelah 5 (lima) orang yang kesemuanya mahasiswa dan alumni hukum Uiversitas Indonesia mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mereka antara lain mempersoalkan bunyi Pasal 2 ayat 1 yang mengatakan bahwa, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Menurut mereka, pengaturan (bunyi ayat tersebut) ini menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melangsungkan perkawinan di Indonesia, karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi baik secara individual maupun secara institusional. Pro dan kontra pun terus merebak di ruang public. Yang pro terhadap pernikahan beda agama tentu mendukung langkah JR tersebut. Sementara yang kontra meluapkan tentangannya melalui berbagai arus.
Melalui tulisan yang serba terbatas ini saya hendak mendudukkan pernikahan beda agama dari tiga sudut pandang: agama, hukum (konstitusi) dan hak asasi manusia. Dengan memaparkan ketiga persepektif ini saya berharap kita dapat melihat pernikahan beda agama secara proporsional, tidak emosional.
Pertama, dari sudut pandang keagamaan, melalui penelitian yang penulis, dkk. lakukan tahun 2005 dan 2010 (bersama ICRP – Komnas HAM), pandangan agama-agama tentang pernikahan beda agama ternyata tidak tunggal. Betul bahwa sebagian agamawan melarangnya atau paling tidak mewanti-wanti untuk tidak dilakukan, tapi ternyata juga tidak sedikit yang memberikan argument keagamaan (teologis) bagi dimungkinkannya terjadinya pernikahan beda agama.
Dalam Islam misalnya, meski yang nyaring kita dengar adalah pengharaman atas pernikahan beda agama, namun sejumlah tafsir lain muncul berbeda. Secara ringkas pandangan para ulama mengenai hal ini terpola kepada tiga pendapat: (1) melarang secara mutlak. Sebagian ulama melarang secara mutlak pernikahan antara Muslim dan non-Muslim, baik yang dikategorikan musyrik maupun ahlul kitab dan larangan itu berlaku, baik bagi perempuan Muslim maupun laki-laki Muslim. Kelompok ini mendasarkan argumenta pada Q.S. al-Baqarah/2: 221 & al-Mumtahanah/60: 10; (2) membolehkan secara bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan pernikahan laki-laki Muslim dan perempuan non-Muslim dengan syarat perempuan non-Muslim itu dari kelompok ahlul kitab, tetapi tidak sebaliknya. Kelompk ini mengacu pada Q.S. al-Maidah/5: 5 yang menjelaskan kebolehan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan beriman dari kalangan ahl al-kitab; dan (3) membolehkan pernikahan antara Muslim dan non-Muslim, dan kebolehan itu berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Dalam Kristen dan Katolik pun demikian. Melalui Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPL PGI) tahun 1989 telah menyatakan sikapnya terhadap pernikahan. Pertama, institusi yang berhak mengesahkan (mencatat) suatu pernikahan adalah Negara, dalam hal ini kantor catatan sipil. Kedua, Gereja berkewajiban meneguhkan dan memberkati suatu perkawinan yang telah disahkan oleh Pemerintah. Dalam gereja Katolik jemaat Katolik memungkinkan untuk menikah dengan non-Katolik dengan terlebih dahulu memohon dispensasi pernikahan melalui Paroki setempat. Hamper 100% permohonan tersebut dikabulkan, sehingga tetap mendapatkan layanan pemberkatan nikah oleh pastor gereja Katolik.
Pun dalam agama-agama lain seperti Hindu, Buddha, Khonghucu, bahkan Penghayat Kepercayaan pun tidak menutup mata terhadap fenomena pernikahan beda agama. Sejumlah rohaniwan dari berbagai agama tersebut telah tampil bijak dengan membuka pintu bagi terwujudnya pernikahan beda agama (lihat, Ahmad Nurcholish & Ahmad Baso (ed), Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan, Jakarta: ICRP-Komnas HAM, 2005 & 2010).
Kedua, dalam ranah konstitusi (hukum dan perundang-undangan) telah terjadi ketidak-sepahaman para penyelenggara dalam menyikapi pernikahan beda agama. Mengacu pada UU yang sama, Kantor Urusan Agama (KUA) dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKPS) tidak seiya-sekata. KUA hingga saat ini menolak pernikahan Muslim dengan non-Muslim. Mereka mengacu pada fatwa MUI dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang tidak mentolelir pernikahan beda agama. Sedangkan DKPS tak seragam dalam praktiknya. Ada yang menolak sebagaimana KUA, ada pula yang berkenan mencatat pasangan beda agama asal sudah mendapatkan pengesahan dari agamawan/rohaniwan.
Ketidakjelasan, persisnya ketidakpastian ini mendorong banyaknya upaya-upaya lari dari “hukum” dengan cara-cara yang sebetulnya seharusnya negara bertanggung jawab agar hal itu tidak terjadi. Seperti menikah di luar negeri, yang menunjukkan bahwa negara kita tidak mampu melindungi warganya sendiri, malah negara lain yang memberi perlindungan, seperti Singapura dan Australia. Maraknya menikah di luar negeri menunjukkan kepada orang-orang luar bahwa negara kita belum menjamin sepenuhnya hak-hak warga negaranya. Bahwa diskriminasi masih menghantui setiap pasangan beda agama yang akan menikah, sehingga mereka ramai-ramai mengesahkan perkawinannya di luar negeri.
Selain itu, ada pula yang menikah dengan siasat dibuatkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) dimana dicantumkan agama yang disesuaikan dengan agama pasangannya sehingga bisa dianggap sebagai pernikahan yang seagama, dan bukan pernikahan beda agama. Seperti pembuatan “KTP Islam” agar bisa menikah/dicatatkan di KUA. Ada pula yang berupaya pindah agama “untuk sementara” dengan tujuan pernikahannya disahkan oleh negara karena sudah dianggap seagama. Tidak lama setelah menikah salah satu pasangan tetap kembali ke agama semula. Ada pula dengan cara mengikuti prosesi salah satu “hukum agama” sehingga pernikahan mereka bisa disahkan oleh pemuka agama dan dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah. Cara seperti ini dianggap serupa atau mirip dengan upaya “pura-pura pindah agama”, yakni hanya untuk memuluskan perkawinan pasangan beda agama.
Lalu, di mana sebetulnya masalahnya, sehingga pernikahan beda agama tidak mendapat perlakuan yang baik dan sewajarnya di negeri ini? Hal itu berakar dari penafsiran tentang UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. Sekali lagi, ini adalah masalah penafsiran atas UU produk Orde Baru itu. Terutama Pasal 2 ayat 1 UU tersebut. Pihak pencatatan sipil (DKCS) menolak pernikahan beda agama, dengan argumen Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan ini. Ditambah dengan dalil-dalil dari Peraturan Pemerintah (PP) no. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan. Tentu dalam sekian pasal dan ayat itu, bahkan keseluruhan Pasal dalam UU Perkawinan, tidak disebutkan secara eksplisit soal pelarangan nikah beda agama.
Di lain pihak, ada DKCS yang menerima pencatatan pernikahan beda agama. DKCS yang mencatatkan dan menerima perkawinan beda agama berargumen pada Pasal 2 dan Pasal 66 UU Perkawinan, dan juga surat edaran Mendagri tahun 1975 yang merujuk ke GHR, juga kepada Keputusan MA 1986/1989. Keputusan MA itu di antaranya menyatakan: “Undang-undang Perkawinan tidak memuat suatu ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami dan calon istri merupakan larangan perkawinan, hal mana adalah sejalan dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 yang menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu sejalan dengan jiwa Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing”.
Selain itu, DKPS yang mau melakukan pencatatan pasangan beda agama juga mengacu pada UU Adminduk No. 23 tahun 2006. Ada ketentuan Pasal 35 dalam UU yang menyebut demikian: “Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan”. Penjelasan Pasal 35 Huruf a ini menyebutkan, “Yang dimaksud dengan ‘Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan’ adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama”. Dengan adanya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (adminduk) memungkinkan pasangan berbeda agama dicatatkan perkawinannya asal melalui penetapan pengadilan. Bahkan dalam praktik di lapangan ada sejumlah DKPS yang mau mencatat langsung tanpa melalui putusan Pengadilan.
Ketiga, yang tak kalah pentingnya adalah pemenuhan hak menikah sebagai bagian dari hak asasi manusia. Negara menghormati prinsip kebebasan beragama dalam UUD 1945 tersebut, dan juga senafas dengan isi DUHAM Pasal 18: “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”
Selanjutnya, hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII Tahun 1998 Bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan Hak Asasi Manusia Pasal 37: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable)”.
TAP MPR No. XVII/1998 menyebut 8 (delapan) kelompok hak asasi manusia yang diakui pemerintah sebagai hak yang tidak boleh diabaikan dan dirampas oleh siapapun, termasuk oleh negara sekalipun. Yaitu hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak memperoleh kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan.
Dengan demikian sudah sepatutnya Negara tak boleh terlibat dalam perdebatan teologis yang tak aja ujungnya. Negara harus focus pada pemenuhan hak-hak sipil warganegara, termasuk dalam hal menikah. Hal ini sejalan pula dengan Pasal 22 ayat (1) UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”; dan bagian penjelasan pasal 22 ayat (1) “Yang dimaksud dengan ‘hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya’ adalah hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga”.
Artinya, hak berkeyakinan tersebut tidak harus terganggu manakala seseorang menikah dengan orang yang berbeda agama atau keyakinan, sebab masing-masing tetap mendapatkan jaminan untuk menjalankannya. [ ]
Penulis adalah Konselor Pernikahan Beda Agama, peneliti dan penulis buku-buku tentang pernikahan beda agama.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...