Perempuan yang Mampu Mengkritik Justru Disingkirkan di Parlemen
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Eksekutif Perempuan dalam Politik, Titi Sumbung mengatakan bahwa perempuan meskipun cerdas tidak berarti dalam politik dapat berjalan lancar. Sistem undang-undang pemilu kita dulu menggunakan sistem nomor urut. Jadi kalau nomor urutnya dua walaupun dia dapat sedikit suara, tetap dapat kursi lebih dulu. Belakangan ini barulah menggunakan sistem suara terbanyak.
Contohnya, Titi pada saat pemilu sejak tahun 2004 lalu, mencalonkan diri sebagai caleg di Partai PDI-P. Tapi justru perempuan yang bisa mengkritik seperti dirinya merupakan yang paling tidak disukai, karena partai tidak akan bisa menyetir dirinya, ungkap Titi usai acara Managing Our Nation dengan tema “Menyoal Perempuan dalam Pembangunan” yang bertempat di Kampus PPM Manajemen, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/11).
“Dua kali saya coba. Pertama kali tahun 2004 saya dilempar ke Jember dengan nomor urut empat, walaupun suara saya lebih banyak dari nomor urut dua, tetap saja kursi diberikan pada nomor urut dua. Kemudian pemilu tahun 2009 saya coba lagi, dilempar ke Kalimantan Barat dengan nomor urut lima, yang dapat nomor urut tiga yang memang merupakan anak Gubernur di sana,” jelas Titi.
Ketertinggalan perempuan di Indonesia terjadi dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi, di mana Indonesia ranking 108 dari 189 negara. Dan juga diukur dalam keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga politik, angka kematian ibu yang sekarang melonjak angkanya, kedudukan perempuan di parlemen juga masih jauh dari yang diharapkan.
“Saat ini kita punya 18 persen perempuan di DPR, tapi di mana suaranya? Itulah yang harus kita ungkap di sini,” kata Titi.
Otonomi Perempuan Tidak Boleh Dikurangi Laki-laki
Senada dengan Titi Sumbung, Ahli Filsafat dan Dosen Universitas Indonesia (UI), Rocky Gerung mengatakan ada semacam sinisme bahwa perempuan dalam legislatif itu tidak berkualitas.
"Memang kenyataannya demikian karena tidak ada desain dari dalam partai. Jadi perempuan hanya sekedar disodorkan hanya untuk memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam parlemen, tapi bukan dididik secara khusus," kata Rocky Gerung.
"Misalnya ada kaukus perempuan di DPR, kaukus itu dalam teori politik artinya persekutuan yang didasarkan isu perempuan. Tapi pada prakteknya kaukus itu dikontrol oleh fraksi. Fraksi adalah tangan partai di DPR, jadi yang mengontrol kaukus adalah partai," ungkap Rocky Gerung.
“Karena seringkali isu perempuan bertentangan dengan kepentingan partai, tapi si perempuan takut dikeluarkan, misalnya menghitung anggaran yang sensitif dalam komisi banggar (badan anggaran), itu dihitung oleh laki-laki dan isinya koruptor semua,” tegas Rocky.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...