Pergelaran Cipta Budaya, Pergelaran Kesenian Tradisi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sepuluh jenis kesenian tradisi dan berbasis kesenian tradisi digelar di Plaza Planetarium Taman Ismail Marzuki Jakarta mulai hari hari Minggu (24/11). Kegiatan bertajuk pergelaran ‘Cipta Budaya’ ini digelar selama lima hari.
Pergelaran ini dilangsungkan mengingat kesenian tradisi di Indonesia sudah tidak lagi menggembirakan. Beberapa memang mampu bertahan tetapi sebagian besar praktis berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Tidak sedikit yang terancam punah karena sudah sangat jarang atau bahkan tidak pernah lagi dimainkan. Padahal di zamannya, kesenian itu digemari dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakatnya.
“Kondisi ini tentu saja membuat kita risau. Sederet usaha lalu digagas dan dilaksanakan untuk menjaga dan menyelamatkan kesenian tradisi kita luar biasa banyaknya itu. Dengan satu kesadaran yang tinggi bahwa seni tradisi itu adalah aset bangsa yang luar biasa, kesungguhan untuk menjaga dan menyelamatkan itu benar-benar luar biasa dan tidak perlu diragukan. Kita bhakan dengan sangat gigih berusaha agar sejumlah kesenian tradisi kita dimasukkan dalam daftar warisan budaya dunia.” Kata pengamat teater Arie Batubara dalam sambutan pergelaran ‘Cipta Budaya’ di Plaza Planetarium Taman Ismail Marzuki Jakarta pada Minggu (24/11).
”Ancaman keterpinggiran dan bahkan kepunahan pelbagai jenis seni tradisi terus juga berlangsung. Bencana kepunahan itu seakan telah menjadi kepastian. Diam-diam kita pun bertanya: Kenapa? Adakah yang kurang? Atau barangkali, ada yang salah dalam upaya penyelamatan yang kita lakukan?” kata dia.
Kesenian tradisi adalah anak kandung zaman itu dan karenanya cenderung menjadi milik mutlak masyarakat semasa. Saat zaman bergerak dengan membawa perubahan-perubahan di dalamnya, posisi kepemilikan tadi tentu juga ikut berubah.
Pelestarian seni tradisi hendaknya jangan berkutat pada sakralisasi bentuk dan nilai. Kesenian tradisi hanya akan tetap menjadi milik masyarakat ketika mampu beradaptasi dan mengikuti arus perubahan. Ketika masa dan realitas berubah seyogyanya seni tradisi juga berubah dalam bentuk dan nilai, dan bukannya menahan perubahan itu. Dengan begitu aktualitas dan kontekstualitas terhadap masyarakat akan terjaga.
Kepala Dinas Pariwiasata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Arie Budhiman mengungkapkan keprihatian akan punahnya seni tradisi. Pihaknya berupaya mencarikan jalan keluar dengan segala keterbatasan, baik menyangkut wewenang, tugas, dan tanggungjawab, dan berupaya semaksimal mungkin menyelamatkan seni tradisi.
Sementara Kepala Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ -TIM) Bambang Subekti menyebutkan bahwa pihaknya member perhatian kepada kesenian tradisi. Beberapa jenis di antaranya diberi kesempatan berpentas di PKJ –TIM. Hal itu menurutnya kewajiban yang sudah menjadi keharusan.
Pergelaran ‘Cipta Budaya’ menggelar 10 jenis kesenian tradisi dan berbasis kesenian tradisi dari Minggu (24/11) hingga Kamis (28/11). Yaitu Topeng Blantek dari Betawi atau Jakarta, Wayang Garing dari Banten, Sohibul Hikayat dari Betawi atau Jakarta, Ronggeng Gunung dari Sunda, Mop-Mop atau Biola Aceh dari Aceh, Wayang Urban dari Jawa dan Jakarta, Lenong Pulo dari Betawi atau Jakarta, Kethoprak Dor dari Putera Jawa kelahiran Sumatera (Pujakesuma), Randai dari Sumatera Barat, dan Tarling dari Cirebon-Indramayu.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Obituari: Mantan Rektor UKDW, Pdt. Em. Judowibowo Poerwowida...
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Mantan Rektor Universtias Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Dr. Judowibow...