Pergulatan Batin Si Anak Sulung
Keterbukaan Yesus terhadap pemungut pajak dan pendosa janganlah diartikan sebagai penolakan terhadap kaum Farisi dan ahli Taurat.
SATUHARAPAN.COM – ”Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: ’Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.’” Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka…” (Luk. 15:2-3).
Inilah konteks perumpamaan ”Anak yang Hilang”. Jika diperhatikan konteksnya, dan kisah terbuka di akhir cerita, Yesus agaknya mengarahkan perhatian pendengar pada Si Sulung.
Menurut Jirair Tashjian, mengutip Kenneth E. Bailey, Si Sulung lebih menganggap dirinya sebagai budak yang bekerja kepada sang Bapa, ketimbang seorang anak yang diberi kepercayaan memelihara harta milik ayahnya. Dia lebih suka menjadikan dirinya budak ketimbang anak.
Alasan budak melayani dengan penuh ketaatan bukanlah kasih. Sebagai budak, hidupnya terus dibayangi rasa was-was, takut pelayanannya tidak menyenangkan hati tuannya. Sulitlah mengharap kreatifitas dalam dirinya karena dia selalu takut salah.
Si Sulung menyatakan bahwa ayahnya tak pernah memberikan seekor anak kambing kepada dirinya. Agaknya dia lupa, sebagai anak dia memiliki segala sesuatu. Dia ingin anak kambing yang dapat disembelih dan dijadikan modal pesta dengan sahabat-sahabatnya. Jelaslah, dia menganggap orang-orang dalam rumahnya bukan sahabat-sahabatnya.
Si Sulung menyebut saudaranya ”anak Bapa”. Dia tidak menyebut saudaranya ”adikku”. Itu berarti dia tidak menganggap Si Bungsu sebagai saudaranya. Absurd memang, bagaimana mungkin menyebut seseorang sebagai anak bapaknya, tetapi tidak menganggapnya sebagai adik? Sejatinya, ini hanya terjadi pada hubungan saudara tiri?
Kemudian, Si Sulung menyatakan bahwa saudaranya telah menghambur-hamburkan harta ayahnya. Ini jelas memperlihatkan bahwa ia lebih baik ketimbang adiknya. Si Sulung membuat cerita yang membuatnya adiknya tampak lebih buruk ketimbang dirinya.
Namun demikian, Bapa tersebut memanggil Si Sulung dengan sebutan akrab: ”anakku”. Jelaslah, Si Sulung telah salah konsep. Sebagai hamba dia memang tidak akan dapat memiliki harta ayahnya. Tetapi, sang Bapa menyatakan bahwa dia adalah anak. Dan sebagai anak, apa yang dimiliki Bapa sejatinya merupakan miliknya.
Itu juga berarti, keterbukaan Yesus terhadap pemungut pajak dan pendosa janganlah diartikan sebagai penolakkan terhadap kaum Farisi dan ahli Taurat. Mereka diwakili oleh Si Sulung. Mereka tinggal di rumah dan memelihara tanah pertanian. Mereka menjaga hukum. Mereka bertanggung jawab. Itu merupakan hal baik. Kadang sebagai Kristen kita lebih suka mendiskreditkan kaum Farisi dan ahli Taurat.
Kenyataan bahwa Yesus membuat kisah-Nya berakhir terbuka berarti Dia membuat orang Farisi menanggapi pesan-Nya dan menerima pemungut pajak dan pendosa masuk ke dalam kerajaan Allah.
Demikian jugakah tanggapan kita?
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
KPK Tetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, Tersangka Kasus...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perju...