Perjanjian Kayu Indonesia dan Uni Eropa Cacat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Perjanjian perdagangan kayu terbaru antara Indonesia dan Uni Eropa tak cukup buat mencegah pembalakan liar yang berbuah pelanggaran hak asasi di Indonesia.
Perjanjian ini mewajibkan kayu dari Indonesia yang dieskpor ke Eropa memiliki sertifikat guna menunjukkan kayu tersebut diperoleh secara legal. Namun perjanjian ini tak menjamin bahwa kayu yang diperoleh tidak melanggar hak-hak masyarakat setempat. Perjanjian ini tak cukup guna mengatasi pelanggaran hak atas tanah dan korupsi yang menjamur di sektor kehutanan. Selain itu juga tidak mengatasi korupsi dalam hal penerbitan lisensi kayu yang telah merugikan Indonesia milyaran dolar.
Wakil Direktur Program Human Rights Watch Joe Saunders dalam siaran pers di Jakarta pada Kamis (7/11) mengatakan, “Perjanjian perdagangan kayu Indonesia-UE seharusnya dapat membantu memberantas pembalakan liar. Tapi jalan masih panjang bagi kedua belah pihak untuk melakukan perdagangan pada kayu legal saja.”
Lanjutnya, “Proses sertifikasi Indonesia perlu direformasi untuk jamin kayu-kayu itu tak didapat dari lahan masyarakat tanpa izin dan kompensasi yang memadai.”
Human Rights Watch menerbitkan laporan ‘Sisi Gelap Pertumbuhan Hijau: Dampak Tata Kelola yang Lemah dalam Sektor Kehutanan terhadap Hak Asasi Manusia’ pada 7 November 2013. Laporan ini adalah versi Indonesia dari laporan ‘Dark Side of the Green Growth: Human Rights Impacts of Weak Governance in Indonesia’s Forestry Sector’.
Human Rights Watch menyerahkan laporan itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Satu temuan penting dalam laporan tersebut adalah sistem sertifikasi kayu di Indonesia yang disertakan dalam perjanjian perdagangan Indonesia-Uni Eropa.
Kini hutan di Indonesia semakin berkurang sampai dengan tahap yang mencemaskan. Padahal hutan Indonesia mempunyai peran yang penting secara global bagi keanekaragaman hayati dan penyerapan karbon.
Pembalakan liar
Pembalakan liar merupakan faktor penting penggundulan hutan Indonesia. Human Rights Watch dengan mengutip data pemerintah dan kalangan bisnis Indonesia memperkirakan Indonesia rugi sedikitnya US$2 milyar (setara Rp 22 trilyun) atas pajak yang tak tertagihkan yang diakibatkan pembalakan liar dan subsidi tak resmi pada 2011. Angka tersebut didapat dalam kurun waktu setahun setelah sistem legalitas kayu diwajibkan bagi semua pelaku industri.
Perjanjian perdagangan kayu Indonesia dan Uni Eropa ditandatangani 30 September 2013 lalu di Brussels Belgia. Tujuan perjanjian perdagangan kayu ini untuk mencegah praktik-praktik ilegal. Namun sertifikasi kayu yang mendasari perjanjian tersebut tak memadai. Sistem ini hanya akan audit perusahaan-perusahaan buat memeriksa penjual kayu mengantungi izin. Sistem ini tidak melakukan pengecekan izin kemungkinan kayu diperoleh tanpa korupsi atau pelanggaran hak tanah masyarakat.
Pada 25 Juni 2012, semua menteri luar negeri dari negara-negara anggota Uni Eropa menerima Kerangka Strategis Uni Eropa mengenai Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Negara-negara anggota Uni Eropa berjanji bahwa Uni Eropa akan menghormati hak asasi manusia pada setiap bidang dalam kebijakan luar negeri tanpa pengecualian dan secara khusus mengusung hak asasi manusia dalam kebijakan-kebijakan perdagangan Uni Eropa.
“Uni Eropa tidak boleh mengizinkan impor kayu yang berbau kekerasan dan pelanggaran. Faktanya, pelanggaran hak masyarakat akan tanah begitu meluas sehingga perjanjian tersebut bisa membuat keadaan lebih berbahaya. Perjanjian perdagangan ini tak boleh dipakai sebagai pernis buat bikin kilap kayu yang diperoleh dari situasi semacam ini,” kata Joe Saunders.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...