Perlindungan Sosial Harus Mampu Tangkal Meluasnya Kemiskinan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ekonom Senior Raden Pardede, meminta pemerintah memastikan bahwa sistem perlindungan sosial yang hendak dijalankan sebagai kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), harus benar-benar tepat sasaran dan mampu menangkal semakin meluasnya kemiskinan.
"Kami meminta sistem itu harus lebih baik dari sebelumnya (BLSM era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono). Dengan pengalaman, seharusnya kita bisa lebih berhasil," kata Raden di Seminar Proyeksi Ekonomi dan Pasar Finansial 2015 yang diselenggarakan Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, di Jakarta, Senin (3/11).
Menurut Raden, pemerintah perlu mengkaji kebijakan perlindungan sosial sebelumnya yang pernah dikeluarkan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013.
Saat itu, setelah menaikkan harga BBM bersubsidi pada 22 Juni 2013, pemerintah mengucurkan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dengan total nilai Rp 9,32 triliun.
Raden mengakui, meskipun BLSM tersebut tidak 100 persen berhasil, kompensasi yang diberikan saat itu cukup membantu masyarakat miskin.
"Itu berhasil juga, meskipun memang tidak 100 persen," ujar dia.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Andrinof Chaniago sebelumnya menjamin sistem perlindungan sosial, sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, melalui paket Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar akan lebih baik dibanding kebijakan kompensasi era Presiden SBY.
"Bappenas juga akan menyiapkan program untuk mengantisipasi jika ada Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan industri, karena kenaikan harga BBM ini," ujarnya, Jumat (31/10) lalu.
Sistem perlindungan sosial melalui paket kartu tersebut juga didesain secara non-tunai. Kartu tersebut akan diintegrasikan dengan sistem uang elektronik yang dibuat pemerintah untuk penerima kartu.
Pemerintah, memiliki dana perlindungan sosial sebagai kompensasi kenaikkan harga BBM pada APBN-Perubahan 2014 sebesar Rp5 triliun.
Tidak Tambah Kemiskinan
Raden, yang juga Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) era Presiden SBY, mengaku yakin pengurangan subsidi BBM dengan menaikkan harga komoditas tersebut, tidak akan menambah tingkat kemiskinan.
Hal itu karena selama ini, sebagian besar atau 60 persen alokasi BBM bersubsidi justru dinikmati kalangan masyarakat mampu. Dengan begitu, ketika harga BBM bersubsidi dinaikkan, memang akan terjadi sedikit gejolak di kalangan masyarakat miskin, namun menurut Raden, jangka waktunya tidak akan terlalu lama.
Sebaliknya, kenaikan harga BBM, menurut Raden, diharapkan membuat kalangan masyarakat mampu sadar untuk tidak memanfaatkan hak dan fasilitas yang diberikan pemerintah untuk kalangan masyarakat tidak mampu.
"Argumen saya adalah seharusnya subsidi ini tepat sasaran dulu. Jadi yang tepat itu sekarang menaikkan harga BBM dulu. Yang kaya tidak perlu mendapatkan apa-apa. Sedangkan yang miskin itu harus diberikan kompensasi. Itu menurut kami, justru akan dapat mengurangi kemiskinan," kata dia.
Dengan mengurangi belanja subsidi BBM ini, lanjut Raden diharapkan dapat menurunkan dua defisit pada anggaran negara, dan neraca transaksi berjalan yang pada kuartal II 2014 menembus empat persen.
Belanja subsidi BBM pada APBN-Perubahan 2014 lebih dari Rp240 triliun, atau 20 persennya dari belanja pemerintah pusat. Sementara, menurut Raden, mayoritas masyarakat yang menikmati BBM bersubsidi tersebut justru kalangan masyarakat mampu. (Ant)
Editor: Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...