Permendag Pembebasan SVLK Lemahkan Industri Kayu RI
SATUHARAPAN.COM – Adanya keputusan mendadak pembebasan 15 kelompok produk dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia medapat tanggapan kritis dari berbagai organisasi non-pemerintah.
Mereka prihatin terhadap kondisi yang dapat mendera akses produk-produk kayu Indonesia menuju pasar Uni Eropa, karena hal itu berarti menunda atau menyabotase kesepakatan perdagangan kayu Uni Eropa-Indonesia yang telah dirundingkan cukup lama, serta merugikan reputasi industri kehutanan Indonesia.
Suara kritis antara lain berasal dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) serta Environmental Investigation Agency (EIA) yang berbasis di London, menyusul disahkannya Peraturan Menteri Perdagangan No. 89/M-DAG/PER/10/2015 pada 19 Oktober lalu yang berdampak memperlemah SVLK.
Secara permanen adanya peraturan baru tersebut dapat membebaskan seluruh eksportir produk kayu dengan 15 pos tarif (HS Codes) dari kewajiban menjalani audit SVLK untuk mengekspor. Meskipun perusahaan-perusahaan yang dibebaskan tersebut banyak diantaranya yang telah melakukan ekspor bernilai jutaan dolar, mereka tetap harus menggunakan kayu bersertifikasi SVLK.
Tidak ada pemeriksaan yang akan dilakukan untuk menjamin perusahaan-perusahaan tersebut benar-benar melakukan kewajibannya, dan hal ini membuka peluang besar untuk memasukkan kayu tak bersertifikat atau ilegal ke dalam rantai pasok.
“Peraturan Menteri Perdagangan tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi struktural pada upaya yang sudah lama dijalankan Inodnesia untuk memperbaiki tata kelola kehutanan melalui penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), dan akan mengganggu cakupan dan kerangka waktu yang diusulkan untuk pelaksanaan Indonesia-EU Voluntary Partnership Agreement (VPA),” kata Zainuri Hasyim, Dinamisator Nasional JPIK.
“Peraturan Kementerian Perdagangan tersebut memberi semacam ‘pintu belakang’ bagi sekelompok perusahaan elit yang memiliki koneksi tingkat tinggi. Peraturan tersebut melanggar tujuan dan mekanisme yang mendasari SVLK dan VPA. Hal ini akan menyebabkan VPA harus dirundingkan ulang, atau harus didesainnya kembali sistem perizinan SVLK, atau pemblokiran struktural atas perusahaan-perusahaan yang dibebaskan tersebut dari pasar Uni Eropa. Peraturan buruk yang ironisnya dibuat untuk mempercepat deregulasi ini harus segera diamandemen,” ungkap Faith Doherty, Forest Campaign Leader EIA.
Pada saat kebakaran hutan besar-besaran di Indonesia telah menghasilkan emisi karbon lebih banyak daripada yang dihasilkan Jepang dalam setahun, pemerintah Indonesia berencana mengumumkan implementasi VPA sebagai salah satu tajuk yang akan dibahas dalam pertemuan PBB tentang perubahan iklim di Paris pada bulan Desember mendatang. (PR)
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...